Kamis, 10 September 2009

Selayang Pandang Candi Borobudur

Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk kebanggaan nasional serta memperkokoh jati diri bangsa. Candi Borobudur sebagai salah satu warisan budaya yang besar, megah, dan mempunyai keunikan yang tiada duanya serta sebagai pusaka dunia telah diakui dan terdaftar dalam warisan budaya dunia (World Heritage List) Nomor 348 tanggal 13 Desember 1991, sekarang diperbarui menjadi Nomor 592 Tahun 1991 dari beberapa daftar Warisan Budaya Dunia. Buku panduan ini materinya meliputi letak administrasi, bentuk bangunan atau arsitektur, Borobudur dalam lintasan sejarah, Borobudur dalam proses pemugaran, dan upaya pelestarian yang dilakukan oleh kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudur.

I. LETAK
Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis terletak di 70.361.2811 LS dan 1100.121.1311 BT. Lingkungan geografis Candi Borobudur dikelilingi oleh Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah Utara, dan pegunungan Menoreh di sebelah Selatan, serta terletak di antara Sungai Progo dan Elo. Candi Borobudur didirikan di atas bukit yang telah dimodifikasi, dengan ketinggian 265 dpl.

II. BENTUK BANGUNAN
· Denah Candi Borobudur ukuran panjang 121,66 meter dan lebar 121,38 meter.
· Tinggi 35,40 meter.
· Susunan bangunan berupa 9 teras berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Terdiri dari 6 teras berdenah persegi dan3 teras berdenah lingkaran.
· Pembagian vertikal secara filosofis meliputi tingkat Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
· Pembagian vertikal secara teknis meliputi bagian bawah, tengah, dan atas.
· Terdapat tangga naik di keempat penjuru utama dengan pintu masuk utama sebelah timur dengan ber-pradaksina.
· Batu-batu Candi Borobudur berasal dari sungai di sekitar Borobudur dengan volume seluruhnya sekitar 55.000 meter persegi (kira-kira 2.000.000 potong batu)

III. RELIEF
Disamping maknanya sebagai lambang alam semesta dengan pembagian vertikal secara filosofis meliputi Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu, Candi Borobudur mengandung maksud yang amat mulia, maksud ini diamanatkan melalui relief-relief ceritanya. Candi Borobudur mempunyai 1.460 panil relief cerita yang tersusun dalam 11 deretan mengitari bangunan candi dan relief dekoratif berupa relief hias sejumlah 1.212 panil. Relief cerita pada tingkat Kamadhatu (kaki candi) mewakili dunia manusia menggambarkan perilaku manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi. Hal ini terlihat pada dinding kaki candi yang asli terpahatkan 160 panil relief Karmawibhangga yang menggambarkan hukum sebab akibat. Tingkat Rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara, menggambarkan perilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh suatu pengertian dunia nyata. Pada tingkatan ini dipahatkan 1.300 panil yang terdiri dari relief Lalitavistara, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha. Berikut uraian singkat dari relief tersebut:
1. Tingkat I
· dinding atas relief Lalitavistara : 120 panil
Relief ini menggambarkan riwayat hidup Sang Buddha Gautama dimulai pada saat para dewa di surga Tushita mengabulkan permohonan Bodhisattva untuk turun ke dunia menjelma menjadi manusia bernama Buddha Gautama. Ratu Maya sebelum hamil bermimpi menerima kehadiran gajah putih dirahimnya. Di Taman Lumbini Ratu Maya melahirkan puteranya dan diberi nama pangeran Sidharta. Pada waktu lahir Sidharta sudah dapat berjalan, dan pada tujuh langkah pertamanya tumbuh bunga teratai. Setelah melahirkan Ratu Maya meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa. Dalam suatu perjalanan Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak menjadi ancaman bagi seorang pendeta. Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta. Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan menjadi pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin. Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana. Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak, Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota Benares.

· Dinding bawah relief Manohara dan Avadana : 120 panil
Cerita Manohara menggambarkan cerita Sudanakumaravada yaitu kisah perkawinan pangeran Sudana dengan bidadari Manohara. Karena berjasa menyelamatkan seekor naga, seorang pemburu bernama Halaka mendapat hadiah laso dari orang tua naga. Pada suatu hari Halaka melihat bidadari mandi di kolam, dengan lasonya berhasil menjerat salah seorang bidadari tercantik bernama Manohara. Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan pangeran Sudana dengan Manohara.
Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang lemah. Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang. Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua makhluk hidup.

· Langkan bawah kisah binatang) relief Jatakamala: 372 panil
langkan atas (kisah binatang) relief Jataka:128 panil
Relief ini mempunyai arti untaian cerita jataka yang mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai seorang manusia bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung pada penjelmaan sang Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan pengorbanannya. Cerita jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng, namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan.
Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.

2. Tingkat II
· Dinding relief Gandawyuha : 128 panil
Relief ini menggambarkan kisah pertemuan seorang pedagang bernama Sudhana dengan berbagai sahabat yang baik untuk mencari kebijaksanaan. Sudana mengagumi Maitreya karena kasih sayangnya kepada semua binatang dan makhluk hidup. Akhirnya Sudana memperoleh pengetahuan kebijaksanaan dari Maitreya bahwa seluruh makhluk hidup dapat menjadi sahabat yang baik dan berguna. Berkat ajaran dari sahabatnya Sudana mendapat pencerahan hidup.
· Langkan relief Jataka/Avadana : 100 panil
Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya.

3. Tingkat III
· Dinding relief Gandawyuha : 88 panil
Relief ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang, merupakan kelanjutan dari cerita di tingkat II.
· Langkan relief Gandawyuha : 88 panil
Relief ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang. Bodhisattva Maitreya dikenal dengan adanya stupa kecil pada mahkotanya.

4. Tingkat IV
· dinding relief Gandawyuha : 72 panil
Relief ini mungkin menggambarkan riwayat hidup seorang Bodhisattva (Samantabadra?). Kisahnya berupa sumpah Sudhanakumara untuk mengikuti Bodhisattva Samantabadra (?) sebagai teladan. Bodhisatta ini dianggap sebagai calon Buddha terakhir di masa datang.
· Langkan relief Gandawyuha : 84 panil
Relief ini menggambarkan setengah dari bagian ini memuat riwayat Bodhisattva Maitreya, sedangkan selanjutnya memuat ceita yang sampai sekarang masih belum dikenal.

IV. ARCA
· Jumlah arca : 504 buah
· Rincian letak arca :
- Pada tingkat Rupadhatu terdapat 432 arca, ukuran semakin ke atas semakin kecil dan diletakkan pada relung, dengan rincian:
Teras I : 104 arca
Teras II : 104 arca
Teras III : 88 arca
Teras IV : 72 arca
Teras V : 64 arca
- Pada tingkat Arupadhatu terdapat 72 arca dengan ukuran sama dan diletakkan di dalam stupa, dengan rincian:
Teras VI : 32 arca
Teras VII : 24 arca
Teras VIII : 16 arca

· Pada tingkat Rupadhatu ini terdapat 432 arca Dyani Buddha diletakkan di dalam relung di segala penjuru arah mata angin yaitu:
- Arca Dhyani Buddha Aksobya letak di sisi Timur dengan sikap tangan Bhumisparsamudra
- Arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa letak sisi Selatan dengan sikap tangan Waramudra
- Arca Dhyani Buddha Amitabha letak di sisi Barat dengan sikap tangan Dyanamudra
- Arca Dhyani Buddha Amoghasidha letak di sisi Utara dengan sikap tangan Abhayamudra
- Arca Dhyani Buddha Wairocana di pagar langkan tingkat V dengan sikap Witarkamudra
- Di dalam stupa teras I, II, dan III terdapat arca Dhyani Buddha Vajrasattva dengan sikap tangan Dharmacakramudra

· Arca singa : 32 buah
Menurut agama Buddha singa adalah kendaraan sang Buddha pada waktu naik ke surga, simbol kekuatan pengusir pengaruh jahat untuk menjaga kesucian Candi Borobudur.

V. STUPA
· Jumlah stupa 73 buah dengan rincian 1 buah stupa induk, 32 stupa pada teras melingkar I, 24 stupa pada teras melingkar II, dan 16 stupa pada teras melingkar III.
· Bentuk stupa :
- Stupa induk berongga, tanpa lubang terawang
- Stupa pada teras melingkar berlubang terawang:
Lubang belah ketupat pada stupa teras melingkar I dan II
Lubang segi empat pada stupa teras melingkar III
· Arti simbolis lubang terawang belah ketupat:
Berkaitan dengan filosofi menuju ke tingkat kesempurnaan
· Arti simbolis lubang terawang segi empat:
Berkaitan dengan filosofi lebih sederhana atau “sempurna” daripada bentuk belah ketupat yang masih tergolong raya.
· Tingkat Arupadhatu merupakan gambaran dunia tanpa rupa dan bentuk lambang kesempurnaan abadi. Terdiri dari tiga stupa teras, teras I disebut nirwana, teras II disebut pari nirwana, dan teras III disebut mahaparinirwana.

VI. SEJARAH
a. Riwayat Temuan
Candi Borobudur baru muncul kembali pada tahun 1814 ketika Sir Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang menjadi wali negara Indonesia mengadakan kegiatan di Semarang, waktu itu Raffles mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu telah ditemukan susunan batu bergambar, kemudian ia mengutus Cornelius seorang Belanda untuk membersihkannya. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman pada tahun 1835. Disamping kegiatan pembersihan, ia juga mengadakan penelitian khususnya terhadap stupa puncak Candi Borobudur, namun sayang mengenai laporan penelitian ini tidak pernah terbit. Pendokumentasian berupa gambar bangunan dan relief candi dilakukan oleh Wilsen selama 4 tahun sejak tahun 1849, sedangkan dokumen foto dibuat pada tahun 1873 oleh Van Kinsbergen.

b. Borobudur Dalam Lintasan Sejarah
Menurut legenda Candi Borobudur didirikan oleh arsitek Gunadharma, namun secara historis belum diketahui secara pasti. Pendapat Casparis berdasarkan interpretasi prasasti berangka tahun 824 M dan prasasti Sri Kahulunan 842 M, pendiri Candi Borobudur adalah Smaratungga yang memerintah tahun 782-812 M pada masa dinasti Syailendra. Candi Borobudur dibangun untuk memuliakan agama Budha Mahayana. Pendapat Dumarcay Candi Borobudur didirikan dalam 5 tahap pembangunan yaitu:
· Tahap I + 780 Masehi
· Tahap II dan III + 792 Masehi
· Tahap IV + 824 Masehi
· Tahap V + 833 Masehi

3. Penamaan Candi Borobudur
Mengenai penamaannya juga terdapat beberapa pendapat diantaranya:
Raffles:
Budur yang kuno (Boro= kuno, budur= nama tempat)
Sang Budha yang agung (Boro= agung, budur= Buddha)
Budha yang banyak (Boro= banyak, budur= Buddha)
Moens:
Kota para penjunjung tinggi Sang Budha
Casparis:
Berasal dari kata sang kamulan i bhumisambharabudara, berdasarkan kutipan dari prasasti Sri Kahulunan 842 M yang artinya bangunan suci yang melambangkan kumpulan kebaikan dari kesepuluh tingkatan Bodhisattva.

Poerbatjaraka:
Biara di Budur (Budur= nama tempat/desa)

Soekmono dan Stutertheim:
Bara dan budur berarti biara di atas bukit

Menurut Soekmono fungsi Candi Borobudur sebagai tempat ziarah untuk memuliakan agama Budha aliran Mahayana dan pemujaan nenek moyang.

4. Misteri
Candi Borobudur meninggalkan misteri yang unik dan menarik. Misteri tersebut diantaranya yaitu:
·Masalah siapa pendiri dan bagaimana Candi Borobudur didirikan hingga sekarang masih merupakan misteri yang belum dapat diungkapkan dengan jelas. Di kalangan masyarakat awam yang tinggal di sekitar Candi Borobudur mempunyai kepercayaan tentang legenda tokoh Gunadharma. Menurut legenda tersebut, arsitek yang membangun Candi Borobudur adalah Gunadharma. Dikisahkan tokoh ini hidup pada zaman Syailendra. Raja memerintahkan kepada Gunadharma untuk membangun sebuah bangunan suci yang besar dan megah. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya Gunadharma melaksanakan perintah raja. Selama bertahun-tahun dia bekerja keras melaksanakan pembangunan candi tersebut. Akhirnya sebuah candi yang besar dan megah berhasil didirikan. Setelah Gunadharma berhasil menyelesaikan pekerjaannya, dia merasa sangat penat dan lelah, kemudian dia berjalan ke arah selatan. Gunadharma menaiki bukit Menoreh dan ketika sampai di puncak bukit dia merebahkan dirinya untuk beristirahat dan akhirnya tertidur untuk selama-lamanya di bukit tersebut. Menurut legenda deretan bukit dalam rangkaian pegunungan Menoreh di arah selatan Candi Borobudur memang memberikan kesan profil seorang tokoh yang sedang berbaring, merupakan bentuk abadi tokoh Gunadharma yang sedang beristirahat.
· Tidak kalah menariknya dari Gunadharma yaitu kepercayaan masyarakat terhadap arca Budha di dalam stupa teras Arupadhatu, pada teras melingkar tingkat I sisi Timur. Arca yang berada di dalam stupa lubang belah ketupat tersebut terkenal dengan nama arca Kunto Bimo. Siapa saja yang dapat menyentuh jari manis untuk pengunjung laki-laki dan tumit untuk pengunjung perempuan, maka segala keinginannya dapat terkabul.
·Misteri yang sekarang menjadi tenar di masyarakat yaitu arca Unfinish Budha di Museum Karmawibhangga yang lebih terkenal dengan nama Kyai Belet. Oleh penganut agama Budha arca tersebut dianggap sebagai Budha Tertinggi yang dahulunya berada di stupa induk. Banyak umat Budha yang melakukan sesaji dan berdoa di sana. Bahkan belum lama ini pernah diselenggarakan doa bersama tokoh paranormal dari semua agama untuk kepentingan keselamatan bangsa.
· Misteri yang menarik juga yaitu adanya anggapan bahwa dahulunya puncak Candi Borobudur terdapat chattra atau payung. Chattra tersebut sekarang berada di Museum Karmawibhangga. Chattra yang sekarang berada di Museum Karmawibhangga merupakan hasil rekonstruksi Van Erp, namun chattra yang bisa dilihat sekarang berbeda dengan hasil rekonstruksi Van Erp dahulu, karena terdapat batu-batu yang sudah hilang. Oleh Van Erp dahulunya ditambah lagi susunan ornamen sebanyak 9 tingkat. Namun oleh beberapa ahli arkeologi keberadaan chattra tersebut diragukan.

5. Borobudur Dalam Pelestarian
Upaya pemugaran Candi Borobudur dilakukan sebanyak dua kali yaitu pertama dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Van Erp dan yang kedua dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang diketuai oleh Soekmono (alm).
· Pemugaran I tahun 1907 – 1911
Pemugaran I sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah Hindia Belanda. Sasaran pemugaran lebih banyak ditujukan pada bagian puncak candi yaitu tiga teras bundar dan stupa pusatnya. Namun oleh karena beberapa batunya tidak diketemukan kembali, bagian puncak (catra) stupa, tidak bisa dipasang kembali. Pemugaran bagian bawahnya lebih bersifat tambal sulam seperti perbaikan/pemerataan lorong, perbaikan dinding dan langkan tanpa pembongkaran sehingga masih terlihat miring. Usaha-usaha konservasi telah dilakukan sejak pemugaran pertama oleh pemerintah Hindia Belanda dengan terus menerus mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap Candi Borobudur, sementara proses kerusakan dan pelapukan batu-batu Candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai faktor terus berlangsung. Dan hasil penelitian yang diadakan oleh suatu panitia yang dibentuk dalam tahun 1924 diketahui bahwa sebab-sebab kerusakan itu ada 3 macam, yaitu korosi, kerja mekanis dan kekuatan tekanan dan tegangan di dalam batu-batu itu sendiri (O.V. 1930 : 120-132).

· Pemugaran II tahun 1973 – 1983
Sesudah usaha pemugaran Van Erp berhasil diselesaikan pada tahun 1911, pemeliharaan terhadap Candi Borobudur terus dilakukan. Berdasarkan perbandingan antara kondisi saat itu dengan foto-foto yang dibuat Van Erp 10 tahun sebelumnya, diketahui ternyata proses kerusakan pada Candi Borobudur terus terjadi dan semakin parah, terutama pada dinding relief batu-batunya rusak akibat pengaruh iklim. Selain itu bangunan candinya juga terancam oleh kerusakan. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB, maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota UNESCO. Melalui lembaga UNECO tersebut, Indonesia mulai mengimbau kepada dunia internasional untuk ikut menyelamatkan bangunan yang sangat bersejarah tersebut. Usaha tersebut berhasil, dengan dana dari Pelita dan dana UNESCO, pada tahun 1975 mulailah dilakukan pemugaran secara total. Oleh karena pada tingkat Arupadhatu keadaannya masih baik, maka hanya tingkat bawahnya saja yang dibongkar. Dalam pembongkaran tersebut ada tiga macam pekerjaan, yaitu tekno arkeologi yang terdiri atas pembongkaran seluruh bagian Rupadhatu, yaitu empat tingkat segi empat di atas kaki candi, pekerjaan teknik sipil yaitu pemasangan pondasi beton bertulang untuk mendukung Candi Borobudur untuk setiap tingkatnya dengan diberi saluran air dan lapisan kedap air di dalam konstruksinya, dan pekerjaan kemiko arkeologis yaitu pembersihan dan pengawetan batu-batunya, dan akhirnya penyusunan kembali batu-batu yang sudah bersih dari jasad renik (lumut, cendawan, dan mikroorganisme lainnya) ke bentuk semula.

· Monitoring
Candi Borobudur setelah selesai dipugar tidak berarti selesai sudah perawatan terhadap candi tersebut. Tidak ada jaminan kalau Candi Borobudur terbebas dari proses kerusakan dan pelapukan. Oleh karena itu kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudur selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan. Misalnya monitoring melalui kegiatan pemeliharaan batu candi, monitoring stabilitas candi dan bukit. monotoring geohydrologi, monitoring mengenai dampak lingkungan, monitoring pemanfaatan dan pengaman dan lain-lain.

6. Borobudur Dalam Perlindungan
Usaha perlindungan dilakukan dengan membuat mintakat (zoning) pada situs Candi Borobudur yaitu:

· Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
· Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
· Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
· Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
· Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)

Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.

A Brief Glance At Borobudur Temple


Cultural property has an important meaning in national culture, especially to foster national pride and strengthen national identity. Borobudur, as one of the large, grand, and unique cultural heritages and world treasures, is admitted and listed in World Heritage List Number 348 at 13 December 1991 which was renewed as Number 592 in 1991.

This brief composition includes location, the shape or architecture of the structure, history of Borobudur Temple, the restoration, and preservation efforts done by Borobudur Heritage Conservation Office.

I. LOCATION
Borobudur Temple is located in Borobudur Village, Magelang, Central Java. Astronomically, it is positioned at 70.36’.28” South Latitude and 1100.12’.13” West Longitude. Geographically, Borobudur Temple is surrounded by Mount Merbabu and Mount Merapi in the eastern side, Mount Sindoro and Mount Sumbing in the northern side, and sit between Progo and Elo River. Borobudur Temple was built on a modified hill, with the altitude of 265 meters above sea level.

II. SHAPE OF THE STRUCTURE
· Borobudur Temple is 121,66 meters long and 121,38 meters wide.
· The height is 35,40 meters.
· It consists of 9 levels of terraces and a main stupa at the top of it. The terraces are made of 6 square terraces and 3 round terraces.
· Philosophically, it is divided vertically into Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu levels.
· Technically, it is divided vertically into lower, middle, and upper floors.
· There are four stairways on four main compass directions with the east stairway as the main gateway.
· The rocks were taken from rivers near Borobudur with the volume of approximately 55.000 cubic meters (approximately 2.000.000 pieces of rocks)

III. RELIEF
Other than its meaning as symbol of the universe (Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu), Borobudur Temple holds noble messages. The messages can be found through series of reliefs carved in the main or inner walls and the balustrades or outer walls. Borobudur Temple has 1.460 relief panels that tell grandeur stories arranged in 11 rows around the structure and 1.212 relief panels that function as decorative ones. The reliefs on Kamadhatu level (the foot of the temple) describe human behaviors that are still attached to earthly desire. It is shown on the hidden foot that was carved into 160 panels of Karmawibhangga reliefs which portray the law of cause and effect. The Rupadhatu level represents transitional world, where human begins to abandon earthly desire but is still bound with tangible world. On this level, there are 1.300 relief panels, consists of Lalitavistara, Jataka, Avadana, and Gandavyuha stories.

1. First Level
· Upper inner wall
Lalitavistara : 120 panels
This series of reliefs illustrates the life story of Budha Gautama that begins when the Gods in Tushita heaven granted Bodhisattva’s wish to descend to earth as a human named Buddha Gautama. Before the pregnancy, Queen Maya had a vision about admitting white elephant in her stomach. In Lumbini Pleasure Garden, she gave birth to a son named Prince Sidharta. Sidharta could walk second after he was born and on his first seven steps grew lotus. Soon after Queen Maya gave birth, she died, and Sidharta was raised by his aunt, Princess Gautami. After Sidharta grown up, he married Yosadhara, or also known as Princess Gopa. One day, on a journey outside the palace, Sidharta had Four Encounters. First, he saw a blind old man with a stick escorted by a child. Second, he saw a sick man, and then he met a dead man. The last encounter was the meeting with a monk that looked at peace compared to other people. Old age, sick, and died did not worried the peaceful monk. Because it was foretold that Sidharta would become a monk, his father built many glorious palaces for him. Nevertheless, after the Four Encounters, Sidharta, who became restless inside, finally left the palace in silence. Sidharta decided to be a monk by cutting his hair. He undressed the palace suit, wore dead slave’s clothes, and joined poor people. Before he began to meditate, Sidharta washed his body at Nairanjana River. He was happy when a gardener gave him a seat from dry grass. Below a Bodhi tree, in a full moon at month of Vaisak, Sidharta reached Supreme Enlightenment. Since then, he became a Buddha in the City of Benares.

· Lower inner wall
Manohara dan Avadanas : 120 panels
Manohara Story describes Sudanakumaravada story, which is a story about the marriage of Prince Sudana and a nymph named Manohara. After saving a dragon from danger, a hunter named Halaka receives a gift in form of a lasso which can catch anything. One day Halaka sees a group of nymphs takes a bath in a pool. He succeeds in capturing one of the nymphs with his lasso. Because Halaka feels that he is not suited for Manohara, he presents Manohara to Prince Sudana despite his father’s disagreement. Many obstacles can not hinder the marriage between Prince Sudana and Manohara.
Avadana Story tells the reincarnations of holy people, one of them is about King Sipi’s devotion in protecting weak creatures. A little bird asks for king’s help for not getting eaten by the eagle. The eagle agrees not to eat the little bird in the exchange of King Sipi’s flesh. As it is turned out, the weight of the little bird is the same with the weight of King Sipi. King Sipi then sacrifices himself to be eaten by the eagle. This story teaches that a leader should be brave in sacrificing himself for his people and all of living creatures.

· Lower balustrade
Jatakamalas (stories about animal) : 372 panels

. Upper balustrade
Jatakas (stories about animal) : 128 panels

The relief contains series of Jataka story, which tells about reincarnations of Buddha before he is born into human named Prince Sidharta Gautama. Commonly, it describes the reincarnations of Buddha as noble animals which sacrifice themselves. One of Jataka stories is about the monkey and the bull. The naughty monkey likes to annoy the bull but the bull stays silent. Goddess of Forest advises the bull to fight the monkey, but the bull refuses. The bull is afraid if the monkey goes away from the forest and disturbs the peace of other animals. Finally, Goddess of Forest kneels down in front of the bull because of the bull’s posture in maintaining the peace and harmonious life of the forest.
Another story is about an elephant which sacrifices itself to feed the hungry refugees.

2. Second Level
· Inner wall
Gandavyuha : 128 panels
The relief describes the meetings of a merchant with his good friends in search of wisdom. Sudana admires Maitreya because of his compassion towards all humans and animals. Sudana learns from the wisdom of Maitreya that all living creatures can become good and useful friends. Guided by his friends, Sudana finally reaches enlightenment.

· Balustrade
Jatakas/Avadanas : 100 panels
The relief probably continues the story about the life of Buddha in the past. Some recognized pieces, located at northwest side of the structure, are Bodhisattva incarnates as a captured peacock and finally preaches his teachings.

3. Third Level
· Inner wall
Gandavyuha : 88 panels
The relief describes the chronicle of Bodhittva Maitreya as a future Buddha. This is the continuity of the stories in the second level.

· Balustrade
Gandavyuha : 88 panels
The relief describes the chronicle of Bodhittva Maitreya as a future Buddha. Bodhisattva Maitreya is recognized by the little stupa on his crown.

4. Fourth Level
· Inner Wall
Gandavyuha : 72 panels
The relief probably describes the life story of certain Bodhisattva (Samantabadra?). The story is about the vow Sudhanakumara took to follow Bodhisattva Samantabadra as his guidance.

· Balustrade
Half of this series of relief describes the chronicle of Bodhisattva Maitreya, while the other half is still unknown.

IV. STATUE
· Number of statues
Assuming that every recess and stupa contains a statue, there are 504 statues in Borobudur Temple.

· Location of statues
In Rupadhatu level, there are 432 statues, and higher the terraces, smaller the size. In addition, the higher statues are placed in recess, with the detail of:
First terrace : 104 statues
Second terrace : 104 statues
Third terrace : 88 statues
Fourth terrace : 72 statues
Fifth terrace : 64 statues

In Arupadhatu level, there are 72 statues with the same size and placed in stupas, with the detail of:
Sixth terrace : 32 statues
Seventh terrace : 24 statues
Eighth terrace : 16 statues

· In Rupadhatu level, there are 432 Dhyani-Buddha statues placed inside the recess in four main compass directions, which are:
- Statues of Dhyani-Buddha Aksobya in the east side with the hands form Bhumisparsamudra
- Statue of Dhyani-Buddha Ratnasambhawa in the south side with the hands form Waramudra
- Statues of Dhyani-Buddha Amitabha in the west side with the hands form Dyanamudra
- Statues of Dhyani-Buddha Amoghasidha in the north side with the hands form Abhayamudra
- Statues of Dhyani-Buddha Vairocana on balustrade wall of the fifth level with the hands form Witarkamudra
- In sixth, seventh, and eight terraces, there are statues of Dhyani-Buddha Vajrasattva inside the stupas with the hands form Dharmacakramudra

· Lion Statues
According to Buddhism, lion is the vehicle of Buddha to ascend into heaven and symbol of power in chasing bad evil to preserve the purity of Borobudur Temple. There are 32 lion statues in Borobudur Temple.

V. STUPA

· There are 73 stupas in Borobudur Temple, consist of 1 main stupa, 32 stupas on first round terraces, 24 stupas on second round terraces, and 16 stupas on third round terrace.

· Shape of the stupas
- Main stupa has hollow space, without holes
- Stupas on round terraces have holes:
Diamond holes at stupas on first and second round terraces
Square holes at stupas on third round terraces

· Diamond holes have symbolic meaning as a philosophy in reaching into level of perfection.
· Square holes have symbolic meaning as a simpler philosophy or “perfection” compare to the diamond shape which is fancier.
· Arupadhatu level pictures formlessness world, symbol of eternal perfection. It consists of three round terraces; first round terrace is called nirvana, second round terrace is called parinirvana, and third round terraces is called mahaparinirvana.


VI. HISTORY OF BOROBUDUR TEMPLE

a. The Re-Awakening
Borobudur Temple was rediscovered in 1814 when Sir Thomas Stanford Raffles, British Governor General, assembled activities in Semarang. Raffles got information that in Kedu region had been found carved stone structure. Raffles sent Cornelius to clean it up. This work was prolonged by Kedu Resident named Hartman in 1835. Other than the cleaning, he also did research especially on the main stupa of Borobudur Temple. Nevertheless, it was never published. The structure and relief sketches were done by Wilsen for 4 years began in 1849. The photo documentation was made in 1873 by Van Kinsbergen.

b. The Creation
According to Casparis, based on interpretation of the inscription dated in 824 AD dan Sri Kahulunan inscription in 842 AD, the founder of Borobudur Temple is Smaratungga who ruled in 782 – 812 AD in the period of Syailendra Dynasty. It was built to glorify Mahayana Buddism.
According to Dumarcay, Borobudur Temple was established in 5 phases of construction:
· Phase I + 780 AD
· Phase II and III + 792 AD
· Phase IV + 824 AD
· Phase V + 833 AD

3. The Entitling
Regarding the naming of Borobudur, there are several opinions such as:

Raffles:
The ancient Budur (Boro= ancient, budur= name of place)
The great Buddha (Boro= great, budur= Buddha)
Many Buddhas (Boro= many, budur= Buddha)

Moens:
City of Buddha’s admirers

Casparis:
Comes from the words sang kamulan i bhumisambharabudara, cited from Sri Kahulunan inscription in 842 AD, which means holy structure that symbolize virtuousness in ten levels of Bodhisattva

Poerbatjaraka:
Monastery in Budur (Budur= name of place/village)

Soekmono and Stutertheim:
Bara and Budur mean monastery in a hill
In addition, according to Soekmono, Borobudur Temple is a place for pilgrimages to glorify Mahayana Buddhism and worship the ancestors.

4. The Mystery
Borobudur Temple still leaves unique and interesting mysteries, such as:
· Who the founder was and how it was built are still mysteries that can not be revealed clearly until nowadays. There is a legend believed by people surrounding the temple about a figure named Gunadharma. According to the legend, the architect who built Borobudur Temple was Gunadharma. It was told that he lived in Syailendra era. The king ordered Gunadharma to build a giant and glorious holy building. With all the abilities he had, Gunadharma carried out the king’s order. He worked hard in years to finish the temple. Finally, a giant and glorious temple was founded. After finishing his job, Gunadharma felt very tired and then he walked to the south. He climbed Menoreh Hills and when he reached the top of the hills, he laid his body to rest and finally he forever fell asleep. As stated by the legend, the shape of Menoreh Hills in the south of Borobudur Temple truly gives impression about the Gunadharma figure who laid rest there.
· Another interesting thing is the belief on a statue of Buddha in Arupadhatu level, on first round terrace, at the east side. It is called the statue of Kunto Bimo and said that whoever touches the index finger, for man, or heel, for woman, all of the wishes will come true.
· The other famous mystery is the unfinished Buddha statue in Museum of Karmawibhangga, which is well-known as Kyai Belet. By Buddhists, it is considered as the Supreme Buddha which was placed in the main stupa.
· Last but not least, what is actually in the top of the temple is still a mystery. There is an assumption about chattra or some kind of umbrella. The current chattra that is kept in Museum of Karmawibhangga is a reconstruction done by Van Erp. Nevertheless, some archeologists still have a doubt that it was really exist at all.

5. The Preservation
There were two restorations done in preserving Borobudur Temple. The first was carried out by the Dutch government under the direction of Van Erp, and the second one was performed by the Indonesian government led by Soekmono.
· First Restoration (1907 – 1911)
First restoration was fully sponsored by Netherlands East government. It was focused on the top of the structure which is the three round terraces and main stupa. Because some rocks could not be recovered, the chattra could not be placed again at the top of the main stupa. Restoration done in lower terraces was only to level the hallway and repair the wall and balustrade without dismantling the leaning structure. The efforts in preserving the structure have been done since the first restoration such as monitoring and research. In the meanwhile, the corrosion and impairment process was occurring caused by many factors.
The result of a research done by a committee in 1924 showed that there were three factors concerning the damaging of the structure, which were corrosion, mechanical work, and pressure and tension inside the rocks. (O.V. 1930 : 120-132)

· Second Restoration (1973 – 1983)
After the restoration done by Van Erp finished in 1911, the maintenance of Borobudur Temple was continued to be carried on. Based on the comparison between the condition at that time and the Van Erp’s photos 10 years before, it was understood that the impairment process of Borobudur Temple was still in going and getting worse from time to time. The damage ultimately happened in the wall of the structure caused by the climate. Moreover, the structure itself was beginning to collapse. As Indonesia joined United Nations, Indonesia automatically became the member of UNESCO. Through UNESCO, Indonesia appealed international countries to save the historic site. The effort was a success. With the funding that came from Pelita and UNESCO, total restoration was done in 1975. Because the Arupadhatu level was still intact, the focus point was to break down the lower terraces. The disclosure was categorized into three kinds of work, which were archaeology engineering, that included the dismantling of all parts of Rupadhatu level (four square terraces above the foot of the structure); civil engineering, that included the construction of bony concrete foundation to support the structure and drainage pipes and waterproof layers inside the structure; and chemical archaeology, that included the cleaning and conserving the rocks. After the three works finished, the clean rocks were re-assembled into the original shape.

· Monitoring
Even though Borobudur Temple was restored, the maintenance and preservation is still carried on by authorized agencies. Besides, Borobudur Temple is located in open area so that it is delicate to the surrounding environment that could cause impairment and corrosion. Therefore, Borobudur Heritage Conservation Office performs monitoring and evaluation process continuously. The monitoring includes monitoring of the state conservation of stone, monitoring of temple and hill stability, monitoring of geohydrology, monitoring of environment, monitoring of seepage water, and monitoring of utilization and security.

6. The Safety Measure
Based on JICA Master Plan Study in 1979, the conservation effort is done by zoning the area surrounding Borobudur Temple into:
· Zone I Main zone; for the conservation, protection, and preservation maintenance on the structure of the temple and its environment. (±44,8 ha)
· Zone II Supporting zone; the area surrounding zone I which is used for tourism spot, research, culture, and conservation of the structure. (±42,3 ha)
· Zone III Development zone; the area surrounding zone II which is used for limited settlement, farming, green way, or certain facilities to ensure the conservation on zone I and the optimization of the tourism park in zone II. (±932 ha)
· Zone IV Preservation zone; the area on the outside of zone III which is a historic area to preserve archaeological objects (5 km in radius).
· Zone V Preservation zone; the area on the outside of zone IV which is an archaeological site to preserve hidden historical objects (10 km in radius).

Based on Presidential Decree Number 1 Year 1992, zone I and II are maintained by the government. Zone I is maintained by Borobudur Heritage Conservation Office and zone II is utilized by PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. The facilities in zone II are parking lot, ticket window, information center, museum, souvenir stores, etc. Zone III, IV, and V are owned by the communities surrounding the site which its utilization is monitored by local government.