Kamis, 10 September 2009

Selayang Pandang Candi Borobudur

Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk kebanggaan nasional serta memperkokoh jati diri bangsa. Candi Borobudur sebagai salah satu warisan budaya yang besar, megah, dan mempunyai keunikan yang tiada duanya serta sebagai pusaka dunia telah diakui dan terdaftar dalam warisan budaya dunia (World Heritage List) Nomor 348 tanggal 13 Desember 1991, sekarang diperbarui menjadi Nomor 592 Tahun 1991 dari beberapa daftar Warisan Budaya Dunia. Buku panduan ini materinya meliputi letak administrasi, bentuk bangunan atau arsitektur, Borobudur dalam lintasan sejarah, Borobudur dalam proses pemugaran, dan upaya pelestarian yang dilakukan oleh kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudur.

I. LETAK
Candi Borobudur terletak di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis terletak di 70.361.2811 LS dan 1100.121.1311 BT. Lingkungan geografis Candi Borobudur dikelilingi oleh Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, Gunung Sindoro dan Sumbing di sebelah Utara, dan pegunungan Menoreh di sebelah Selatan, serta terletak di antara Sungai Progo dan Elo. Candi Borobudur didirikan di atas bukit yang telah dimodifikasi, dengan ketinggian 265 dpl.

II. BENTUK BANGUNAN
· Denah Candi Borobudur ukuran panjang 121,66 meter dan lebar 121,38 meter.
· Tinggi 35,40 meter.
· Susunan bangunan berupa 9 teras berundak dan sebuah stupa induk di puncaknya. Terdiri dari 6 teras berdenah persegi dan3 teras berdenah lingkaran.
· Pembagian vertikal secara filosofis meliputi tingkat Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu.
· Pembagian vertikal secara teknis meliputi bagian bawah, tengah, dan atas.
· Terdapat tangga naik di keempat penjuru utama dengan pintu masuk utama sebelah timur dengan ber-pradaksina.
· Batu-batu Candi Borobudur berasal dari sungai di sekitar Borobudur dengan volume seluruhnya sekitar 55.000 meter persegi (kira-kira 2.000.000 potong batu)

III. RELIEF
Disamping maknanya sebagai lambang alam semesta dengan pembagian vertikal secara filosofis meliputi Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu, Candi Borobudur mengandung maksud yang amat mulia, maksud ini diamanatkan melalui relief-relief ceritanya. Candi Borobudur mempunyai 1.460 panil relief cerita yang tersusun dalam 11 deretan mengitari bangunan candi dan relief dekoratif berupa relief hias sejumlah 1.212 panil. Relief cerita pada tingkat Kamadhatu (kaki candi) mewakili dunia manusia menggambarkan perilaku manusia yang masih terikat oleh nafsu duniawi. Hal ini terlihat pada dinding kaki candi yang asli terpahatkan 160 panil relief Karmawibhangga yang menggambarkan hukum sebab akibat. Tingkat Rupadhatu (badan candi) mewakili dunia antara, menggambarkan perilaku manusia yang sudah mulai meninggalkan keinginan duniawi, akan tetapi masih terikat oleh suatu pengertian dunia nyata. Pada tingkatan ini dipahatkan 1.300 panil yang terdiri dari relief Lalitavistara, Jataka, Avadana, dan Gandawyuha. Berikut uraian singkat dari relief tersebut:
1. Tingkat I
· dinding atas relief Lalitavistara : 120 panil
Relief ini menggambarkan riwayat hidup Sang Buddha Gautama dimulai pada saat para dewa di surga Tushita mengabulkan permohonan Bodhisattva untuk turun ke dunia menjelma menjadi manusia bernama Buddha Gautama. Ratu Maya sebelum hamil bermimpi menerima kehadiran gajah putih dirahimnya. Di Taman Lumbini Ratu Maya melahirkan puteranya dan diberi nama pangeran Sidharta. Pada waktu lahir Sidharta sudah dapat berjalan, dan pada tujuh langkah pertamanya tumbuh bunga teratai. Setelah melahirkan Ratu Maya meninggal, dan Sidharta diasuh oleh bibinya Gautami. Setelah dewasa Sidharta kawin dengan Yasodhara yang disebut dengan dewi Gopa. Dalam suatu perjalanan Sidharta mengalami empat perjumpaan yaitu bertemu dengan pengemis tua yang buta, orang sakit, orang mati membuat Sidharta menjadi gelisah, karena orang dapat menjadi tua, menderita, sakit dan mati. Akhirnya Sidharta bertemu dengan seorang pendeta, wajah pendeta itu damai, umur tua, sakit, dan mati tidak menjadi ancaman bagi seorang pendeta. Oleh karena menurut ramalan Sidharta akan menjadi pendeta, maka ayahnya mendirikan istana yang megah untuk Sidaharta. Setelah mengalami empat perjumpaan tersebut Sidharta tidak tenteram tinggal di istana, akhirnya diam-diam meninggalkan istana. Sidharta memutuskan menjadi pendeta dengan memotong rambutnya. Pakaian istana ditinggalkan dan memakai pakaian budak yang sudah meninggal, dan bersatu dengan orang-orang miskin. Sebelum melakukan samadi Sidharta mensucikan diri di sungai Nairanjana. Sidharta senang ketika seorang tukang rumput mempersembahkan tempat duduk dari rumput usang. Di bawah pohon Bodhi pada waktu bulan purnama di bulan Waisak, Sidharta menerima pencerahan sejati, sejak itu Sidharta menjadi Buddha di kota Benares.

· Dinding bawah relief Manohara dan Avadana : 120 panil
Cerita Manohara menggambarkan cerita Sudanakumaravada yaitu kisah perkawinan pangeran Sudana dengan bidadari Manohara. Karena berjasa menyelamatkan seekor naga, seorang pemburu bernama Halaka mendapat hadiah laso dari orang tua naga. Pada suatu hari Halaka melihat bidadari mandi di kolam, dengan lasonya berhasil menjerat salah seorang bidadari tercantik bernama Manohara. Oleh karena Halaka tidak sepadan dengan Manohara, maka Manohara dipersembahkan kepada pangeran Sudana, meskipun ayah Sudana tidak setuju. Banyaknya rintangan tidak dapat menghalangi pernikahan pangeran Sudana dengan Manohara.
Cerita Awadana mengisahkan penjelmaan kembali orang-orang suci, diantaranya kisah kesetiaan raja Sipi terhadap makhluk yang lemah. Seekor burung kecil minta tolong raja Sipi agar tidak dimangsa burung elang. Sebaliknya burung elang minta raja Sipi menukar burung kecil dengan daging raja Sipi. Setelah ditimbang ternyata berat burung kecil dengan raja Sipi sama beratnya, maka raja Sipi bersedia mengorbankan diri dimangsa burung elang. Seorang pemimpin harus berani mengorbankan dirinya untuk rakyat kecil dan semua makhluk hidup.

· Langkan bawah kisah binatang) relief Jatakamala: 372 panil
langkan atas (kisah binatang) relief Jataka:128 panil
Relief ini mempunyai arti untaian cerita jataka yang mengisahkan reinkarnasi sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai seorang manusia bernama pangeran Sidharta Gautama. Kisah ini cenderung pada penjelmaan sang Buddha sebagai binatang yang berbudi luhur dengan pengorbanannya. Cerita jataka diantaranya kisah kera dan banteng. Kera yang nakal suka mengganggu banteng, namun banteng diam saja. Dewi hutan menasehati banteng untuk melawan kera, namun banteng menolak mengusir kera karena takut kera akan pergi dari hutan dan mengganggu kedamaian binatang-binatang lain. Akhirnya dewi hutan bersujud kepada banteng karena sikap banteng didalam menjaga keserasian dan kedamaian di hutan.
Kisah jataka lainnya adalah pengorbanan seekor gajah yang mempersembahkan dirinya untuk dimakan oleh para pengungsi yang kelaparan.

2. Tingkat II
· Dinding relief Gandawyuha : 128 panil
Relief ini menggambarkan kisah pertemuan seorang pedagang bernama Sudhana dengan berbagai sahabat yang baik untuk mencari kebijaksanaan. Sudana mengagumi Maitreya karena kasih sayangnya kepada semua binatang dan makhluk hidup. Akhirnya Sudana memperoleh pengetahuan kebijaksanaan dari Maitreya bahwa seluruh makhluk hidup dapat menjadi sahabat yang baik dan berguna. Berkat ajaran dari sahabatnya Sudana mendapat pencerahan hidup.
· Langkan relief Jataka/Avadana : 100 panil
Relief ini mungkin melanjutkan kehidupan Sang Buddha di masa lalu. Beberapa adegan dikenal kembali antara lain terdapat pada sudut barat laut, yaitu Bodhisattva menjelma sebagai burung merak dan tertangkap, akhirnya memberikan ajarannya.

3. Tingkat III
· Dinding relief Gandawyuha : 88 panil
Relief ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang, merupakan kelanjutan dari cerita di tingkat II.
· Langkan relief Gandawyuha : 88 panil
Relief ini menggambarkan riwayat Bodhisattva Maitreya sebagai calon Budha yang akan datang. Bodhisattva Maitreya dikenal dengan adanya stupa kecil pada mahkotanya.

4. Tingkat IV
· dinding relief Gandawyuha : 72 panil
Relief ini mungkin menggambarkan riwayat hidup seorang Bodhisattva (Samantabadra?). Kisahnya berupa sumpah Sudhanakumara untuk mengikuti Bodhisattva Samantabadra (?) sebagai teladan. Bodhisatta ini dianggap sebagai calon Buddha terakhir di masa datang.
· Langkan relief Gandawyuha : 84 panil
Relief ini menggambarkan setengah dari bagian ini memuat riwayat Bodhisattva Maitreya, sedangkan selanjutnya memuat ceita yang sampai sekarang masih belum dikenal.

IV. ARCA
· Jumlah arca : 504 buah
· Rincian letak arca :
- Pada tingkat Rupadhatu terdapat 432 arca, ukuran semakin ke atas semakin kecil dan diletakkan pada relung, dengan rincian:
Teras I : 104 arca
Teras II : 104 arca
Teras III : 88 arca
Teras IV : 72 arca
Teras V : 64 arca
- Pada tingkat Arupadhatu terdapat 72 arca dengan ukuran sama dan diletakkan di dalam stupa, dengan rincian:
Teras VI : 32 arca
Teras VII : 24 arca
Teras VIII : 16 arca

· Pada tingkat Rupadhatu ini terdapat 432 arca Dyani Buddha diletakkan di dalam relung di segala penjuru arah mata angin yaitu:
- Arca Dhyani Buddha Aksobya letak di sisi Timur dengan sikap tangan Bhumisparsamudra
- Arca Dhyani Buddha Ratnasambhawa letak sisi Selatan dengan sikap tangan Waramudra
- Arca Dhyani Buddha Amitabha letak di sisi Barat dengan sikap tangan Dyanamudra
- Arca Dhyani Buddha Amoghasidha letak di sisi Utara dengan sikap tangan Abhayamudra
- Arca Dhyani Buddha Wairocana di pagar langkan tingkat V dengan sikap Witarkamudra
- Di dalam stupa teras I, II, dan III terdapat arca Dhyani Buddha Vajrasattva dengan sikap tangan Dharmacakramudra

· Arca singa : 32 buah
Menurut agama Buddha singa adalah kendaraan sang Buddha pada waktu naik ke surga, simbol kekuatan pengusir pengaruh jahat untuk menjaga kesucian Candi Borobudur.

V. STUPA
· Jumlah stupa 73 buah dengan rincian 1 buah stupa induk, 32 stupa pada teras melingkar I, 24 stupa pada teras melingkar II, dan 16 stupa pada teras melingkar III.
· Bentuk stupa :
- Stupa induk berongga, tanpa lubang terawang
- Stupa pada teras melingkar berlubang terawang:
Lubang belah ketupat pada stupa teras melingkar I dan II
Lubang segi empat pada stupa teras melingkar III
· Arti simbolis lubang terawang belah ketupat:
Berkaitan dengan filosofi menuju ke tingkat kesempurnaan
· Arti simbolis lubang terawang segi empat:
Berkaitan dengan filosofi lebih sederhana atau “sempurna” daripada bentuk belah ketupat yang masih tergolong raya.
· Tingkat Arupadhatu merupakan gambaran dunia tanpa rupa dan bentuk lambang kesempurnaan abadi. Terdiri dari tiga stupa teras, teras I disebut nirwana, teras II disebut pari nirwana, dan teras III disebut mahaparinirwana.

VI. SEJARAH
a. Riwayat Temuan
Candi Borobudur baru muncul kembali pada tahun 1814 ketika Sir Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris yang menjadi wali negara Indonesia mengadakan kegiatan di Semarang, waktu itu Raffles mendapatkan informasi bahwa di daerah Kedu telah ditemukan susunan batu bergambar, kemudian ia mengutus Cornelius seorang Belanda untuk membersihkannya. Pekerjaan ini dilanjutkan oleh Residen Kedu yang bernama Hartman pada tahun 1835. Disamping kegiatan pembersihan, ia juga mengadakan penelitian khususnya terhadap stupa puncak Candi Borobudur, namun sayang mengenai laporan penelitian ini tidak pernah terbit. Pendokumentasian berupa gambar bangunan dan relief candi dilakukan oleh Wilsen selama 4 tahun sejak tahun 1849, sedangkan dokumen foto dibuat pada tahun 1873 oleh Van Kinsbergen.

b. Borobudur Dalam Lintasan Sejarah
Menurut legenda Candi Borobudur didirikan oleh arsitek Gunadharma, namun secara historis belum diketahui secara pasti. Pendapat Casparis berdasarkan interpretasi prasasti berangka tahun 824 M dan prasasti Sri Kahulunan 842 M, pendiri Candi Borobudur adalah Smaratungga yang memerintah tahun 782-812 M pada masa dinasti Syailendra. Candi Borobudur dibangun untuk memuliakan agama Budha Mahayana. Pendapat Dumarcay Candi Borobudur didirikan dalam 5 tahap pembangunan yaitu:
· Tahap I + 780 Masehi
· Tahap II dan III + 792 Masehi
· Tahap IV + 824 Masehi
· Tahap V + 833 Masehi

3. Penamaan Candi Borobudur
Mengenai penamaannya juga terdapat beberapa pendapat diantaranya:
Raffles:
Budur yang kuno (Boro= kuno, budur= nama tempat)
Sang Budha yang agung (Boro= agung, budur= Buddha)
Budha yang banyak (Boro= banyak, budur= Buddha)
Moens:
Kota para penjunjung tinggi Sang Budha
Casparis:
Berasal dari kata sang kamulan i bhumisambharabudara, berdasarkan kutipan dari prasasti Sri Kahulunan 842 M yang artinya bangunan suci yang melambangkan kumpulan kebaikan dari kesepuluh tingkatan Bodhisattva.

Poerbatjaraka:
Biara di Budur (Budur= nama tempat/desa)

Soekmono dan Stutertheim:
Bara dan budur berarti biara di atas bukit

Menurut Soekmono fungsi Candi Borobudur sebagai tempat ziarah untuk memuliakan agama Budha aliran Mahayana dan pemujaan nenek moyang.

4. Misteri
Candi Borobudur meninggalkan misteri yang unik dan menarik. Misteri tersebut diantaranya yaitu:
·Masalah siapa pendiri dan bagaimana Candi Borobudur didirikan hingga sekarang masih merupakan misteri yang belum dapat diungkapkan dengan jelas. Di kalangan masyarakat awam yang tinggal di sekitar Candi Borobudur mempunyai kepercayaan tentang legenda tokoh Gunadharma. Menurut legenda tersebut, arsitek yang membangun Candi Borobudur adalah Gunadharma. Dikisahkan tokoh ini hidup pada zaman Syailendra. Raja memerintahkan kepada Gunadharma untuk membangun sebuah bangunan suci yang besar dan megah. Dengan segala kemampuan yang dimilikinya Gunadharma melaksanakan perintah raja. Selama bertahun-tahun dia bekerja keras melaksanakan pembangunan candi tersebut. Akhirnya sebuah candi yang besar dan megah berhasil didirikan. Setelah Gunadharma berhasil menyelesaikan pekerjaannya, dia merasa sangat penat dan lelah, kemudian dia berjalan ke arah selatan. Gunadharma menaiki bukit Menoreh dan ketika sampai di puncak bukit dia merebahkan dirinya untuk beristirahat dan akhirnya tertidur untuk selama-lamanya di bukit tersebut. Menurut legenda deretan bukit dalam rangkaian pegunungan Menoreh di arah selatan Candi Borobudur memang memberikan kesan profil seorang tokoh yang sedang berbaring, merupakan bentuk abadi tokoh Gunadharma yang sedang beristirahat.
· Tidak kalah menariknya dari Gunadharma yaitu kepercayaan masyarakat terhadap arca Budha di dalam stupa teras Arupadhatu, pada teras melingkar tingkat I sisi Timur. Arca yang berada di dalam stupa lubang belah ketupat tersebut terkenal dengan nama arca Kunto Bimo. Siapa saja yang dapat menyentuh jari manis untuk pengunjung laki-laki dan tumit untuk pengunjung perempuan, maka segala keinginannya dapat terkabul.
·Misteri yang sekarang menjadi tenar di masyarakat yaitu arca Unfinish Budha di Museum Karmawibhangga yang lebih terkenal dengan nama Kyai Belet. Oleh penganut agama Budha arca tersebut dianggap sebagai Budha Tertinggi yang dahulunya berada di stupa induk. Banyak umat Budha yang melakukan sesaji dan berdoa di sana. Bahkan belum lama ini pernah diselenggarakan doa bersama tokoh paranormal dari semua agama untuk kepentingan keselamatan bangsa.
· Misteri yang menarik juga yaitu adanya anggapan bahwa dahulunya puncak Candi Borobudur terdapat chattra atau payung. Chattra tersebut sekarang berada di Museum Karmawibhangga. Chattra yang sekarang berada di Museum Karmawibhangga merupakan hasil rekonstruksi Van Erp, namun chattra yang bisa dilihat sekarang berbeda dengan hasil rekonstruksi Van Erp dahulu, karena terdapat batu-batu yang sudah hilang. Oleh Van Erp dahulunya ditambah lagi susunan ornamen sebanyak 9 tingkat. Namun oleh beberapa ahli arkeologi keberadaan chattra tersebut diragukan.

5. Borobudur Dalam Pelestarian
Upaya pemugaran Candi Borobudur dilakukan sebanyak dua kali yaitu pertama dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dibawah pimpinan Van Erp dan yang kedua dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang diketuai oleh Soekmono (alm).
· Pemugaran I tahun 1907 – 1911
Pemugaran I sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah Hindia Belanda. Sasaran pemugaran lebih banyak ditujukan pada bagian puncak candi yaitu tiga teras bundar dan stupa pusatnya. Namun oleh karena beberapa batunya tidak diketemukan kembali, bagian puncak (catra) stupa, tidak bisa dipasang kembali. Pemugaran bagian bawahnya lebih bersifat tambal sulam seperti perbaikan/pemerataan lorong, perbaikan dinding dan langkan tanpa pembongkaran sehingga masih terlihat miring. Usaha-usaha konservasi telah dilakukan sejak pemugaran pertama oleh pemerintah Hindia Belanda dengan terus menerus mengadakan pengamatan dan penelitian terhadap Candi Borobudur, sementara proses kerusakan dan pelapukan batu-batu Candi Borobudur yang disebabkan oleh berbagai faktor terus berlangsung. Dan hasil penelitian yang diadakan oleh suatu panitia yang dibentuk dalam tahun 1924 diketahui bahwa sebab-sebab kerusakan itu ada 3 macam, yaitu korosi, kerja mekanis dan kekuatan tekanan dan tegangan di dalam batu-batu itu sendiri (O.V. 1930 : 120-132).

· Pemugaran II tahun 1973 – 1983
Sesudah usaha pemugaran Van Erp berhasil diselesaikan pada tahun 1911, pemeliharaan terhadap Candi Borobudur terus dilakukan. Berdasarkan perbandingan antara kondisi saat itu dengan foto-foto yang dibuat Van Erp 10 tahun sebelumnya, diketahui ternyata proses kerusakan pada Candi Borobudur terus terjadi dan semakin parah, terutama pada dinding relief batu-batunya rusak akibat pengaruh iklim. Selain itu bangunan candinya juga terancam oleh kerusakan. Dengan masuknya Indonesia menjadi anggota PBB, maka secara otomatis Indonesia menjadi anggota UNESCO. Melalui lembaga UNECO tersebut, Indonesia mulai mengimbau kepada dunia internasional untuk ikut menyelamatkan bangunan yang sangat bersejarah tersebut. Usaha tersebut berhasil, dengan dana dari Pelita dan dana UNESCO, pada tahun 1975 mulailah dilakukan pemugaran secara total. Oleh karena pada tingkat Arupadhatu keadaannya masih baik, maka hanya tingkat bawahnya saja yang dibongkar. Dalam pembongkaran tersebut ada tiga macam pekerjaan, yaitu tekno arkeologi yang terdiri atas pembongkaran seluruh bagian Rupadhatu, yaitu empat tingkat segi empat di atas kaki candi, pekerjaan teknik sipil yaitu pemasangan pondasi beton bertulang untuk mendukung Candi Borobudur untuk setiap tingkatnya dengan diberi saluran air dan lapisan kedap air di dalam konstruksinya, dan pekerjaan kemiko arkeologis yaitu pembersihan dan pengawetan batu-batunya, dan akhirnya penyusunan kembali batu-batu yang sudah bersih dari jasad renik (lumut, cendawan, dan mikroorganisme lainnya) ke bentuk semula.

· Monitoring
Candi Borobudur setelah selesai dipugar tidak berarti selesai sudah perawatan terhadap candi tersebut. Tidak ada jaminan kalau Candi Borobudur terbebas dari proses kerusakan dan pelapukan. Oleh karena itu kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudur selalu melakukan monitoring dan evaluasi secara berkesinambungan. Misalnya monitoring melalui kegiatan pemeliharaan batu candi, monitoring stabilitas candi dan bukit. monotoring geohydrologi, monitoring mengenai dampak lingkungan, monitoring pemanfaatan dan pengaman dan lain-lain.

6. Borobudur Dalam Perlindungan
Usaha perlindungan dilakukan dengan membuat mintakat (zoning) pada situs Candi Borobudur yaitu:

· Zone I Area suci, untuk perlindungan monumen dan lingkungan arkeologis (radius 200 m)
· Zone II Zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah (radius 500 m)
· Zone III Zona penggunaan tanah dengan aturan khusus, untuk mengontrol pengembangan daerah di sekitar taman wisata (radius 2 km)
· Zone IV Zona Perlindungan daerah bersejarah, untuk perawatan dan pencegahan kerusakan daerah sejarah (radius 5 km)
· Zone V Zona taman arkeologi nasional, untuk survei arkeologi pada daerah yang luas dan pencegahan kerusakan monumen yang masih terpendam (radius 10 km)

Zona I dan zona II dimiliki oleh pemerintah. Zona I dikelola oleh Balai Studi dan Konservasi Borobudur, zona II dikelola oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko. Pada zona II juga tersedia fasilitas turis : parkir mobil, loket tiket, pusat informasi, museum, kios-kios, dan lain-lain. Zona III, IV, dan V dimiliki oleh masyarakat, tetapi pemanfaatannya dikontrol oleh pemerintah daerah.

A Brief Glance At Borobudur Temple


Cultural property has an important meaning in national culture, especially to foster national pride and strengthen national identity. Borobudur, as one of the large, grand, and unique cultural heritages and world treasures, is admitted and listed in World Heritage List Number 348 at 13 December 1991 which was renewed as Number 592 in 1991.

This brief composition includes location, the shape or architecture of the structure, history of Borobudur Temple, the restoration, and preservation efforts done by Borobudur Heritage Conservation Office.

I. LOCATION
Borobudur Temple is located in Borobudur Village, Magelang, Central Java. Astronomically, it is positioned at 70.36’.28” South Latitude and 1100.12’.13” West Longitude. Geographically, Borobudur Temple is surrounded by Mount Merbabu and Mount Merapi in the eastern side, Mount Sindoro and Mount Sumbing in the northern side, and sit between Progo and Elo River. Borobudur Temple was built on a modified hill, with the altitude of 265 meters above sea level.

II. SHAPE OF THE STRUCTURE
· Borobudur Temple is 121,66 meters long and 121,38 meters wide.
· The height is 35,40 meters.
· It consists of 9 levels of terraces and a main stupa at the top of it. The terraces are made of 6 square terraces and 3 round terraces.
· Philosophically, it is divided vertically into Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu levels.
· Technically, it is divided vertically into lower, middle, and upper floors.
· There are four stairways on four main compass directions with the east stairway as the main gateway.
· The rocks were taken from rivers near Borobudur with the volume of approximately 55.000 cubic meters (approximately 2.000.000 pieces of rocks)

III. RELIEF
Other than its meaning as symbol of the universe (Kamadhatu, Rupadhatu, and Arupadhatu), Borobudur Temple holds noble messages. The messages can be found through series of reliefs carved in the main or inner walls and the balustrades or outer walls. Borobudur Temple has 1.460 relief panels that tell grandeur stories arranged in 11 rows around the structure and 1.212 relief panels that function as decorative ones. The reliefs on Kamadhatu level (the foot of the temple) describe human behaviors that are still attached to earthly desire. It is shown on the hidden foot that was carved into 160 panels of Karmawibhangga reliefs which portray the law of cause and effect. The Rupadhatu level represents transitional world, where human begins to abandon earthly desire but is still bound with tangible world. On this level, there are 1.300 relief panels, consists of Lalitavistara, Jataka, Avadana, and Gandavyuha stories.

1. First Level
· Upper inner wall
Lalitavistara : 120 panels
This series of reliefs illustrates the life story of Budha Gautama that begins when the Gods in Tushita heaven granted Bodhisattva’s wish to descend to earth as a human named Buddha Gautama. Before the pregnancy, Queen Maya had a vision about admitting white elephant in her stomach. In Lumbini Pleasure Garden, she gave birth to a son named Prince Sidharta. Sidharta could walk second after he was born and on his first seven steps grew lotus. Soon after Queen Maya gave birth, she died, and Sidharta was raised by his aunt, Princess Gautami. After Sidharta grown up, he married Yosadhara, or also known as Princess Gopa. One day, on a journey outside the palace, Sidharta had Four Encounters. First, he saw a blind old man with a stick escorted by a child. Second, he saw a sick man, and then he met a dead man. The last encounter was the meeting with a monk that looked at peace compared to other people. Old age, sick, and died did not worried the peaceful monk. Because it was foretold that Sidharta would become a monk, his father built many glorious palaces for him. Nevertheless, after the Four Encounters, Sidharta, who became restless inside, finally left the palace in silence. Sidharta decided to be a monk by cutting his hair. He undressed the palace suit, wore dead slave’s clothes, and joined poor people. Before he began to meditate, Sidharta washed his body at Nairanjana River. He was happy when a gardener gave him a seat from dry grass. Below a Bodhi tree, in a full moon at month of Vaisak, Sidharta reached Supreme Enlightenment. Since then, he became a Buddha in the City of Benares.

· Lower inner wall
Manohara dan Avadanas : 120 panels
Manohara Story describes Sudanakumaravada story, which is a story about the marriage of Prince Sudana and a nymph named Manohara. After saving a dragon from danger, a hunter named Halaka receives a gift in form of a lasso which can catch anything. One day Halaka sees a group of nymphs takes a bath in a pool. He succeeds in capturing one of the nymphs with his lasso. Because Halaka feels that he is not suited for Manohara, he presents Manohara to Prince Sudana despite his father’s disagreement. Many obstacles can not hinder the marriage between Prince Sudana and Manohara.
Avadana Story tells the reincarnations of holy people, one of them is about King Sipi’s devotion in protecting weak creatures. A little bird asks for king’s help for not getting eaten by the eagle. The eagle agrees not to eat the little bird in the exchange of King Sipi’s flesh. As it is turned out, the weight of the little bird is the same with the weight of King Sipi. King Sipi then sacrifices himself to be eaten by the eagle. This story teaches that a leader should be brave in sacrificing himself for his people and all of living creatures.

· Lower balustrade
Jatakamalas (stories about animal) : 372 panels

. Upper balustrade
Jatakas (stories about animal) : 128 panels

The relief contains series of Jataka story, which tells about reincarnations of Buddha before he is born into human named Prince Sidharta Gautama. Commonly, it describes the reincarnations of Buddha as noble animals which sacrifice themselves. One of Jataka stories is about the monkey and the bull. The naughty monkey likes to annoy the bull but the bull stays silent. Goddess of Forest advises the bull to fight the monkey, but the bull refuses. The bull is afraid if the monkey goes away from the forest and disturbs the peace of other animals. Finally, Goddess of Forest kneels down in front of the bull because of the bull’s posture in maintaining the peace and harmonious life of the forest.
Another story is about an elephant which sacrifices itself to feed the hungry refugees.

2. Second Level
· Inner wall
Gandavyuha : 128 panels
The relief describes the meetings of a merchant with his good friends in search of wisdom. Sudana admires Maitreya because of his compassion towards all humans and animals. Sudana learns from the wisdom of Maitreya that all living creatures can become good and useful friends. Guided by his friends, Sudana finally reaches enlightenment.

· Balustrade
Jatakas/Avadanas : 100 panels
The relief probably continues the story about the life of Buddha in the past. Some recognized pieces, located at northwest side of the structure, are Bodhisattva incarnates as a captured peacock and finally preaches his teachings.

3. Third Level
· Inner wall
Gandavyuha : 88 panels
The relief describes the chronicle of Bodhittva Maitreya as a future Buddha. This is the continuity of the stories in the second level.

· Balustrade
Gandavyuha : 88 panels
The relief describes the chronicle of Bodhittva Maitreya as a future Buddha. Bodhisattva Maitreya is recognized by the little stupa on his crown.

4. Fourth Level
· Inner Wall
Gandavyuha : 72 panels
The relief probably describes the life story of certain Bodhisattva (Samantabadra?). The story is about the vow Sudhanakumara took to follow Bodhisattva Samantabadra as his guidance.

· Balustrade
Half of this series of relief describes the chronicle of Bodhisattva Maitreya, while the other half is still unknown.

IV. STATUE
· Number of statues
Assuming that every recess and stupa contains a statue, there are 504 statues in Borobudur Temple.

· Location of statues
In Rupadhatu level, there are 432 statues, and higher the terraces, smaller the size. In addition, the higher statues are placed in recess, with the detail of:
First terrace : 104 statues
Second terrace : 104 statues
Third terrace : 88 statues
Fourth terrace : 72 statues
Fifth terrace : 64 statues

In Arupadhatu level, there are 72 statues with the same size and placed in stupas, with the detail of:
Sixth terrace : 32 statues
Seventh terrace : 24 statues
Eighth terrace : 16 statues

· In Rupadhatu level, there are 432 Dhyani-Buddha statues placed inside the recess in four main compass directions, which are:
- Statues of Dhyani-Buddha Aksobya in the east side with the hands form Bhumisparsamudra
- Statue of Dhyani-Buddha Ratnasambhawa in the south side with the hands form Waramudra
- Statues of Dhyani-Buddha Amitabha in the west side with the hands form Dyanamudra
- Statues of Dhyani-Buddha Amoghasidha in the north side with the hands form Abhayamudra
- Statues of Dhyani-Buddha Vairocana on balustrade wall of the fifth level with the hands form Witarkamudra
- In sixth, seventh, and eight terraces, there are statues of Dhyani-Buddha Vajrasattva inside the stupas with the hands form Dharmacakramudra

· Lion Statues
According to Buddhism, lion is the vehicle of Buddha to ascend into heaven and symbol of power in chasing bad evil to preserve the purity of Borobudur Temple. There are 32 lion statues in Borobudur Temple.

V. STUPA

· There are 73 stupas in Borobudur Temple, consist of 1 main stupa, 32 stupas on first round terraces, 24 stupas on second round terraces, and 16 stupas on third round terrace.

· Shape of the stupas
- Main stupa has hollow space, without holes
- Stupas on round terraces have holes:
Diamond holes at stupas on first and second round terraces
Square holes at stupas on third round terraces

· Diamond holes have symbolic meaning as a philosophy in reaching into level of perfection.
· Square holes have symbolic meaning as a simpler philosophy or “perfection” compare to the diamond shape which is fancier.
· Arupadhatu level pictures formlessness world, symbol of eternal perfection. It consists of three round terraces; first round terrace is called nirvana, second round terrace is called parinirvana, and third round terraces is called mahaparinirvana.


VI. HISTORY OF BOROBUDUR TEMPLE

a. The Re-Awakening
Borobudur Temple was rediscovered in 1814 when Sir Thomas Stanford Raffles, British Governor General, assembled activities in Semarang. Raffles got information that in Kedu region had been found carved stone structure. Raffles sent Cornelius to clean it up. This work was prolonged by Kedu Resident named Hartman in 1835. Other than the cleaning, he also did research especially on the main stupa of Borobudur Temple. Nevertheless, it was never published. The structure and relief sketches were done by Wilsen for 4 years began in 1849. The photo documentation was made in 1873 by Van Kinsbergen.

b. The Creation
According to Casparis, based on interpretation of the inscription dated in 824 AD dan Sri Kahulunan inscription in 842 AD, the founder of Borobudur Temple is Smaratungga who ruled in 782 – 812 AD in the period of Syailendra Dynasty. It was built to glorify Mahayana Buddism.
According to Dumarcay, Borobudur Temple was established in 5 phases of construction:
· Phase I + 780 AD
· Phase II and III + 792 AD
· Phase IV + 824 AD
· Phase V + 833 AD

3. The Entitling
Regarding the naming of Borobudur, there are several opinions such as:

Raffles:
The ancient Budur (Boro= ancient, budur= name of place)
The great Buddha (Boro= great, budur= Buddha)
Many Buddhas (Boro= many, budur= Buddha)

Moens:
City of Buddha’s admirers

Casparis:
Comes from the words sang kamulan i bhumisambharabudara, cited from Sri Kahulunan inscription in 842 AD, which means holy structure that symbolize virtuousness in ten levels of Bodhisattva

Poerbatjaraka:
Monastery in Budur (Budur= name of place/village)

Soekmono and Stutertheim:
Bara and Budur mean monastery in a hill
In addition, according to Soekmono, Borobudur Temple is a place for pilgrimages to glorify Mahayana Buddhism and worship the ancestors.

4. The Mystery
Borobudur Temple still leaves unique and interesting mysteries, such as:
· Who the founder was and how it was built are still mysteries that can not be revealed clearly until nowadays. There is a legend believed by people surrounding the temple about a figure named Gunadharma. According to the legend, the architect who built Borobudur Temple was Gunadharma. It was told that he lived in Syailendra era. The king ordered Gunadharma to build a giant and glorious holy building. With all the abilities he had, Gunadharma carried out the king’s order. He worked hard in years to finish the temple. Finally, a giant and glorious temple was founded. After finishing his job, Gunadharma felt very tired and then he walked to the south. He climbed Menoreh Hills and when he reached the top of the hills, he laid his body to rest and finally he forever fell asleep. As stated by the legend, the shape of Menoreh Hills in the south of Borobudur Temple truly gives impression about the Gunadharma figure who laid rest there.
· Another interesting thing is the belief on a statue of Buddha in Arupadhatu level, on first round terrace, at the east side. It is called the statue of Kunto Bimo and said that whoever touches the index finger, for man, or heel, for woman, all of the wishes will come true.
· The other famous mystery is the unfinished Buddha statue in Museum of Karmawibhangga, which is well-known as Kyai Belet. By Buddhists, it is considered as the Supreme Buddha which was placed in the main stupa.
· Last but not least, what is actually in the top of the temple is still a mystery. There is an assumption about chattra or some kind of umbrella. The current chattra that is kept in Museum of Karmawibhangga is a reconstruction done by Van Erp. Nevertheless, some archeologists still have a doubt that it was really exist at all.

5. The Preservation
There were two restorations done in preserving Borobudur Temple. The first was carried out by the Dutch government under the direction of Van Erp, and the second one was performed by the Indonesian government led by Soekmono.
· First Restoration (1907 – 1911)
First restoration was fully sponsored by Netherlands East government. It was focused on the top of the structure which is the three round terraces and main stupa. Because some rocks could not be recovered, the chattra could not be placed again at the top of the main stupa. Restoration done in lower terraces was only to level the hallway and repair the wall and balustrade without dismantling the leaning structure. The efforts in preserving the structure have been done since the first restoration such as monitoring and research. In the meanwhile, the corrosion and impairment process was occurring caused by many factors.
The result of a research done by a committee in 1924 showed that there were three factors concerning the damaging of the structure, which were corrosion, mechanical work, and pressure and tension inside the rocks. (O.V. 1930 : 120-132)

· Second Restoration (1973 – 1983)
After the restoration done by Van Erp finished in 1911, the maintenance of Borobudur Temple was continued to be carried on. Based on the comparison between the condition at that time and the Van Erp’s photos 10 years before, it was understood that the impairment process of Borobudur Temple was still in going and getting worse from time to time. The damage ultimately happened in the wall of the structure caused by the climate. Moreover, the structure itself was beginning to collapse. As Indonesia joined United Nations, Indonesia automatically became the member of UNESCO. Through UNESCO, Indonesia appealed international countries to save the historic site. The effort was a success. With the funding that came from Pelita and UNESCO, total restoration was done in 1975. Because the Arupadhatu level was still intact, the focus point was to break down the lower terraces. The disclosure was categorized into three kinds of work, which were archaeology engineering, that included the dismantling of all parts of Rupadhatu level (four square terraces above the foot of the structure); civil engineering, that included the construction of bony concrete foundation to support the structure and drainage pipes and waterproof layers inside the structure; and chemical archaeology, that included the cleaning and conserving the rocks. After the three works finished, the clean rocks were re-assembled into the original shape.

· Monitoring
Even though Borobudur Temple was restored, the maintenance and preservation is still carried on by authorized agencies. Besides, Borobudur Temple is located in open area so that it is delicate to the surrounding environment that could cause impairment and corrosion. Therefore, Borobudur Heritage Conservation Office performs monitoring and evaluation process continuously. The monitoring includes monitoring of the state conservation of stone, monitoring of temple and hill stability, monitoring of geohydrology, monitoring of environment, monitoring of seepage water, and monitoring of utilization and security.

6. The Safety Measure
Based on JICA Master Plan Study in 1979, the conservation effort is done by zoning the area surrounding Borobudur Temple into:
· Zone I Main zone; for the conservation, protection, and preservation maintenance on the structure of the temple and its environment. (±44,8 ha)
· Zone II Supporting zone; the area surrounding zone I which is used for tourism spot, research, culture, and conservation of the structure. (±42,3 ha)
· Zone III Development zone; the area surrounding zone II which is used for limited settlement, farming, green way, or certain facilities to ensure the conservation on zone I and the optimization of the tourism park in zone II. (±932 ha)
· Zone IV Preservation zone; the area on the outside of zone III which is a historic area to preserve archaeological objects (5 km in radius).
· Zone V Preservation zone; the area on the outside of zone IV which is an archaeological site to preserve hidden historical objects (10 km in radius).

Based on Presidential Decree Number 1 Year 1992, zone I and II are maintained by the government. Zone I is maintained by Borobudur Heritage Conservation Office and zone II is utilized by PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. The facilities in zone II are parking lot, ticket window, information center, museum, souvenir stores, etc. Zone III, IV, and V are owned by the communities surrounding the site which its utilization is monitored by local government.

Rabu, 26 Agustus 2009

KORELASI SEBARAN SUMBER DAYA ARKEOLOGI TERHADAP DAERAH RAWAN BENCANA DI KAWASAN BOROBUDUR

Oleh : Yudi Suhartono

Sumberdaya arkeologi atau benda cagar budaya beserta situsnya adalah sisa-sisa hasil budaya fisik peninggalan nenek moyang yang masih dapat dilihat di muka bumi sampai saat ini. Sumberdaya arkeologi tersebut merupakan warisan budaya dan merupakan data yang sangat penting untuk merekontruksi sejarah serta mengetahui proses perubahan masa lalu. Scovil, Gordon dan Anderson (1977 dalam Tjahjono, 1996) mengatakan bahwa sumberdaya arkeologi adalah semua bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia masa lampau pada bentang alam tertentu yang berguna untuk menggambarkan, menjelaskan, serta memahami tingkah laku dan interaksi mereka sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan sistem budaya dan alamnya. Pendapat yang hampir sama juga dikemukan oleh Subroto (1994) yang mengatakan bahwa sumberdaya arkeologi (benda cagar budaya dan situs) merupakan petunjuk bahwa di tempat tersebut pernah dilakukan aktivitas-aktivitas tertentu oleh suatu kelompok masyarakat dan lokasi tempat keberadaannya dapat memberikan gambaran tentang lingkungan alam dan penguasaan teknologi masyarakat pendukung situs tersebut.
Salah satu kawasan yang memiliki banyak mengandung sumberdaya arkeologi adalah kawasan Borobudur yang terletak di kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di kawasan Borobudur terdapat sumberdaya arkeologi yang terkenal di seluruh dunia dan merupakan salah satu world heritage di Indonesia yaitu candi Borobudur. Selain candi Borobudur, juga terdapat sumberdaya arkeologi lain yang tersebar di kawasan tersebut.
Berdasarkan data yang ada di Balai Konservasi Peninggalan Borobudur dan hasil penelitian di lapangan, dapat di ketahui bahwa di kawasan Borobudur terdapat 34 sumberdaya arkeologi dari masa Hindu Buddha dan 2 sumberdaya arkeologi peninggalan Kolonial Belanda serta 2 rumah tradisional Jawa. Sumberdaya arkeologi tersebut memiliki nilai penting yang tinggi dari sudut sejarah, ilmu pengetahuan, asosiasi, estetika, arkeologi, ekonomi dan nilai legitimasi. Demikian sumberdaya arkeologi harus dijaga dan dilestarikan untuk dapat diwariskan pada generasi berikutnya.
Di lain pihak, Indonesia merupakan wilayah rawan bencana, yang dapat mengancam jiwa manusia, harta benda, infrastruktur termasuk juga sumberdaya arkeologi. Secara fisiologi wilayah Indonesia terdiri atas landas kontinen, cekungan (basin) samudra dan sabuk orogenik (orogenic belt). Secara geologis wilayah Indonesia merupakan tempat pertemuan beberapa lempeng utama kerak bumi, yaitu lempeng Eurasia yang membentang dari barat laut dan utara, berakhir di selatan di Sunda Shelf, lempeng India dan Autaralia yang membentang dari barat dan selatan, berakhir di utara di Sahul Shelf serta lempeng Samudra Pasifik di timur laut. Oleh karena itu wilayah Indonesia Indonesia menjadi rawan terhadap bencana gempa bumi tektonik yang kadang-kadang disertai dengan terjadinya Tsunami (gelombang pasang laut) (Hadiwonggo, 2002 : 4).

Wilayah Indonesia juga merupakan tempat pertemuan sistem pegunungan utama yaitu
· Sistem pegunungan Alpin Sunda, yang membentang dari Himalaya, Arakan Yona
(Myanmar), Kepulauan Andaman, Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores
dan berakhir di laut Banda
· Sistem pegunungan Asia Timur, sering disebut pula Sirkum Pasifik, yang membentang
dari Jepang, Filipina dan berakhir di Sulawesi.
· Sistem pegunungan Sirkum Australia, yang membentang dari New Zealand, New
Celedonia, Papua Nuigini, Irian Jaya dan berakhir di pulau Halmahera
Akibat pengaruh perputaran bumi, wilayah Indonesia yang menjadi tempat pertemuan empat lempeng kerak bumi dan tiga sistem pegunungan utama, terus menerus bergerak yang menyebabkan wilayah Indonesia berwujud kepingan-kepingan daratan yang membentuk ribuan pulau-pulau besar dan kecil (kurang lebih berjumlah 17.667 pulau). Hal ini juga menyebabkan wilayah Indonesia sangat labil dan rentan akan gempa bumi tektonik, gerakan tanah, tanah longsor dan erupsi gunung api. Sebagai akibat perputaran bumi itu pula lempeng kerak bumi yang menjadi landasan Kepulauan Indonesia, bergerak (bergeser) antara 6 – 8 cm setiap tahun. (Hadiwonggo, 2002 : 4).
Melihat kondisi demikian pada wilayah Indonesia, maka perlu dilakukan penanganan yang serius untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana yang diperkirakan akan terjadi di Indonesia. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya pada jiwa manusia dan harta benda, tetapi juga pada sumberdaya arkeologi, seperti yang terjadi pada gempa bumi tahun 2006 di Jogyakarta yang merusak dan menghancurkan Candi Prambanan, Candi Sojiwan, Taman Sari, Kompleks makam di Imogiri dan sumberdaya arkeologi yang berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Untuk meminimalkan dampak yang akan terjadi, maka pada tulisan ini akan dibahas mengenai hubungan sebaran sumberdaya arkeologi dengan daerah rawan bencana yang ada di kawasan Borobudur, yang akan digunakan sebagai dasar untuk melakukan manajemen bencana di kawasan Borobudur
Korelasi Sumberdaya Arkeologi dengan Daearh Rawan Gempa Bumi
Berdasarkan gambar persebaran gempa di Indonesia (Karnawati, 2007), terlihat bahwa kota-kota di Jawa Tengah termasuk daerah Kedu Selatan merupakan daerah rawan gempa bumi. Di Daerah Kedu Selatan ini terletak kawasan Borobudur. Dilihat dari keletakan, kawasan Borobudur merupakan daerah berbentuk lembah yang di keliling oleh gunng-gunung seperti gunung Merapi, gunung Merbabu, pergunungan Manoreh dan beberapa gunung lainnya. Kawasan Borobudur juga rawan terhadap gempa bumii mengingat kawasan Borobudur terdapat garis sesar yang direka yang ditunjukan pada peta geologi lembar Yogyakarta tahun 1995 yang mencankup kawasan Borobudur. Di lain pihak di kawasan Borobudur terdapat banyak sumberdaya arkeologi yang tersebar di kawasan Borobudur. Melihat kondisi demikian, perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk menyelamatkan sumberdaya arkeologi yang banyak tersebar di kawasan Borobudur dari dampak yang timbul jika terjadi gempa bumi sehingga kelestarian sumberdaya arkeologi dapat terjaga dan dapat diwariskan kepada .generasi pada masa mendatang.
Korelasi Sumberdaya Arkeologi Dengan Rawan Gerakan Tanah
Kondisi geografis di kawasan Borobudur yang terdiri pegunungan dan perbukitan menyebabkan kawasan ini sangat rawan terhadap bencana gerakan tanah. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Magelang tahun 2002, dapat diketahui potensi kerawanan gerakan tanah di kawasan Borobudur, yang terbagi menjadi 4 zona sebagai berikut :
1. Zona kerawanan Tinggi
Zona kerawanan tinggi merupakan daerah yang hampir selalu mengalami gerakan tanah apabila terjadi pemicu. Pemicu ini dapat berupa hujan deras atau hujan tidak deras namun turun terus menerus selama lebih dari 2 jam, getaran-getaran, penggalian atau pemotongan lereng, penebangan atau penanaman pohon secara sembarangan dan penambahan beban pada lereng. Zona kerawanan tinggi ini secara umum terletak pada daerah akumulasi air misalnya daerah lereng-lereng pada lembah sungai atau lereng-lereng di sekitar parit alamiah (gully), dengan sudut kemiringan lereng 20º - 40º dengan mayoritas lereng mendekati 40º. Lereng-lereng di daerah tersebut tersusun oleh batuan hasil pengendapan Gunung Sumbing Tua yang berupa batu pasir tufaan yang miring ke arah luar lereng dengan sudut perlapisan lebih kecil dari kemiringan lereng. Selain itu batuan produk Gunung Merbabu Muda berupa batu pasir tuff yang terpotong-potong oleh kekar secara insentif, breksi andesit formasi andesit tua dan batu pasir dengan sisipan lempung Formasi Nanggulan juga merupakan batuan yang rentan bergerak. Sebagian besar batuan tersebut telah lapuk menjadi tanah lempung dengan ketebalan > 4 m. Rembesan-rembesan atau mata air sering dijumpai pada lereng-lereng dengan kerawanan tinggi meskipun d musim hujan. Gerakan tanah yang terjadi di zona tersebut umumnya berupa nendatan, luncuran, jatuhan serta tipe komplek (kombinasi) atau rayapan pada lereng yang relatif landai (dengan kemiringan ≤ 20º). Di kawasan Borobudur, wilayah masuk zona ini meliputi desa Giri Purwo bagian selatan dan tengah, desa Giri Tengah bagian selatan dan tengah, desa Majaksingi, desa Ngargogondo bagian selatan, desa Candirejo bsgian selatan, desa Kenalan, desa Sambeng, desa Kebonsari, dan sepanjang sungai besar.
Sumberdaya arkeologi yang masuk dalam zona ini adalah situs Pekem (PAK) dan situs-situs di tepi sungai-sungai besar seperti situs-situs di sekitar Mendut dan situs Gedongan.

2. Zona Kerawanan Menengah
Zona kerawanan menengah merupakan zona yang kadang-kadang mengalami gerakan tanah apabila terjadi pemicu, setelah hujan deras, penggalian / pemotongan lereng, penanaman atau penebangan pohon secara sembarangan dan pembebanan yang berlebihan pada lereng. Zona kerawanan menengah tersebut terletak pada daerah dengan kemirigan lereng 20º - 40 º dengan mayoritas lebih mendekati kemiringan lereng 20º. Lereng-lereng tersusun oleh berbagai jenis batuan produk gunung api tua hingga muda, yaitu batu pasir tufaan, tuf pasiran dan breksi andesit dari gunung Sumbing; breksi tuf dan lava dari Gunung Merbabu; tuf, breksi aglomerat dan lava dari Gunung Merapi serta andesit dari Formasi Andesit Tua. Batuan tersebut sebagian besar telah lapuk menjadi tanah pasir lempungan dengan ketebalan 2 m – 4 m. Tata guna lahan umumnya berupa hutan dan kebun campuran. Gerakan tanah terjadi di zona tersebut berupa nendatan, jatuhan serta tipe komplek (kombinasi) dan rayapan.
Di kawasan Borobudur, wilayah yang masuk zona ini meliputi sebagian besar desa Ngadiharjo, bagian barat desa Kebon Sari, bagian utara desa Giri Purwo, Giri Tengah dan Majaksingi. Bagian selatan Desa Kembang Limus, Karanganyar dan Candirejo, bagian tengah desa Kenalan, dan Sambeng.
Sumberdaya arkeologi yang masuk dalam zona ini adalah Situs Malangan (MAL) dan situs Kiyudan (KRJ).

3. Zona Kerawanan Rendah
Zona kerawanan rendah merupakan daerah yang jarang mengalami gerakan meskipun terjadi pemicu. Zona ini terletak pada daerah dengan kemiringan lereng 10º - 20º dan lereng-lereng tersebut tersusun oleh endapan aluvial, breksi vulkanik, lava andesit, batuan yang tersingkap keras dan masif dengan ketebalan tanah pelapukan 1 m – 2 m, tata guna lahan umumnya berupa hutan dan kebun campuran. Gerakan tanah terjadi di zona tersebut umumnya berupa rayapan massa tanah lempung pasiran melalui bidang rayapan yang berupa lapisan batu lempung lunak dan sensitif berkembang saat jenuh air.
Di kawasan Borobudur, wilayah masuk zona ini meliputi bagian barat laut desa Ngadiharjo, desa Karangrejo dan desa Kembanglimus. Dalam wilayah zona ini tidak ada sumberdaya arkeologi.

4. Zona Kerawanan Sangat Rendah
Zona kerawanan sangat rendah merupakan zona yang sangat jarang atau
hampir tidak akan mengalami gerakan. Zona tersebut secara umum terletak pada daerah dengan kemiringan lereng 0º - 10º dan tersusun oleh endapan aluvial yang berupa pasir lempungan, batuan yang tersingkap sangat keras dan masif, ketebalan tanah pelapukan <1 m, tata guna lahan umumnya berupa hutan, pemukiman penduduk dan sawah. Gerakan tanah terjadi di zona tersebut umumnya jarang terjadi. Di kawasan Borobudur, wilayah masuk zona ini meliputi sebagian besar desa Tegalarum, Wringin Putih, Bumiharjo, Borobudur, Tanjung Sari dan Tuksongo. Bagian utara desa Kebonsari, Karanganyar, Majaksingi, Ngargogondo dan Candirejo. Untuk sumberdaya arkeologi sebagian besar masuk dalam zona ini seperti candi Borobudur, candi Pawon, situs Dipan, Brongsongan dan beberapa situs lainya. Korelasi Sumberdaya Arkeologi Dengan Rawan Gunung Api
Kawasan Borobudur berada pada ketinggian 265 meter dpl dan pada bentang alam berupa dataran berbukit di wilayah Kedu. Di sebelah timur dataran ini terdapat Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, di sebelah barat laut terdapat Gunung Sumbing dan Sindoro, sedangkan Pegunungan Menoreh membatasi daerah ini dari barat sampai selatan
Di antara Gunung Api tersebut Gunung Merapi dengan ketinggian ± 2.968 m dpl (daei permukaan air laut) adalah gunung api aktif yang sering menimbulkan bencana alam berupa letusan. Gunung Merapi boleh dikatakan selalu aktif sejak tahun 1822 sampai denga sekarang terjadi 33 kali erupsi dengan periode diam atau istirahat yang pendek (rata-rata tidak lebih dari 3,5 tahun) (Yusup, 2006 : 3). Erupsi Gunung Merapi banyak menimbulkan bencana mulai tahun 1672 tercatat 5.691 koban jiwa, 1480 rumah hancur dan 2.218 ternak mati, belum termasuk korban akibat bencana lahar. Erupsi terbesar abad 20 terjadi pada tahun 1930 menimbulkan 1.369 korban jiwa, 1.109 rumah hancur dan 2.140 ternak mati. Erupsi terakhir yang menimbulkan bencana terjadi pada tahun 1994 dengan korban jiwa 64 jiwa dan 25 rumah hancur (Kusumadinata, 1979 dalam Yusup, 2006 : 4)
Bahaya Gunung Api dibedakan menjadi bahaya primer dan bahaya sekunder (Smith, 1996, Stieltjes and Wagner, 1999, Wright et al. 1992, Crandell, 1984 dalam Yusuf, 2006 : 15) Bahaya Primer atau bahaya langsung didasarkan pada dampak langsung dari hasil-hasil erupsi, meliputi aliran lava (lava flows), aliran piroklastik (pyroclastic flow), bahan jatuhan (free-fall deposits) dan gas. Bahaya sekunder atau bahaya tidak langsung didasarkan pada akibat sekunder dari erupsi meliputi lahar, gerakan massa (slumps, slides, subsidence, block falls, debris avalanche), tsunami dan hujan asam / hujan abu.
Berdasarkan peta daerah rawan Gunung Merapi yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi, kawasan Borobudur berada diluar kawasan bahaya Gunung Merapi, namun demikian, dampak dari aktivitas Gunung Merapi juga terasa hingga Borobudur. Salah contoh adalah aktivias Gunung Merapi pada bulan Juni tahun 2006 menyebabkan menyebabkan hujan abu di sekitar Gunung Merapi termasuk menjangkau kawasan Borobudur. Hujan abu yang terjadi menyebabka batu-batu candi Borobdur tertutup oleh abu vulkanik Gunung Merapi

Mitigasi Bencana di Kawasan Borobudur
Mitigasi (penjinakan) adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi dan memperkecil akibat-akibat yang ditimbulkan oleh bencana, yang meliputi kesiapsiagaan serta penyiapan kesiapan fisik, kewaspadaan dan kemampuan (Depdagri, 2003 dalam Sutikno, 2007). Menurut Adrisijanti (2007) mitigasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi dampak bencana, baik secara fisik struktural melalui pembuatan bangunan-bangunan fisik, maupun non fisik struktural melalui perundangan-perundangan dan pelatihan.
Untuk menghadapi bahaya bencana alam yang timbul di kawasan Borobudur, perlu dilakukan manajeman mitigasi bencana dengan langkah-langkah sebagai
· Pemahaman terhadap karesteristik bahaya bencana alam
Dengan di ketahui pemahaman terhadap karesteristik terhadap bahaya bencana alam, diharapkan adanya kesiapan untuk menghadapi bencana alam yang di kawasan Borobudur
· Pendataan dan pemetaan daerah rawan bencana yang ada di kawasan Borobudur
Hasil dari pendataan dan pemetaan daerah rawan bencana ini sangat berguna untuk mengetahui kondisi lingkungan sumberdaya arkeologi yang masuk dalam daerah rawan bencana, sehingga dapat dilakukan persiapan dan perkuatan struktural bagi sumberdaya arkeologi yang memiliki nilai penting yang sangat tinggi.
· Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang daerah rawan bencana yang ada di sekitar mereka, sehingga masyarakat dapat mengantisipasi jika timbul bencana alam yang akhirnya dapat memperkecil korban dan kerusakan yang timbuk termasuk kerusakan pada sumbedaya arkeologi.
· Monitoring Sumberdaya arkeologi
Perlu dilakukan monotoring pada sumberdaya sehingga dapat diketahui jika terjadi kerusakan akibat bencana alam
· Pemasangan alat peringatan dini pada beberapa tempat yang memiliki kerawanan tinggii, jika terjadi bencana alam
· Penetapan peraturan tata ruang secara ketat untuk mencegah perusakan lingkungan di kawasan Borobudur, yang mempengaruhi terjadinya bencana alam.
· Untuk menghindari terjadinya bahaya gerakan tanah dan longsor perlu dilakukan tindakan pencegahan antara lain dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara mekanik dan vegetatif Cara Mekanik adalah perlakukan fisik mekanik yang dikerjakan dengan tujuan mengurangi gaya pendorong atau menambah gaya penahan dari massa tanah atau batuan yang mengalami longsor. Metode penanggulangan longsor secara mekanik yang dapat dilakukan adalah mengubah geometri lereng, penambatan dan pengendalian air rembesan. Cara Vegetatif adalah penamaan pohon tertentu yang bersifat konservatif pada kelerengan tertentu, dan penerapan cara bercocok tanam yang tepat untuk dilakukan pada daerah berbukit atau bergunung atau lereng-lerengnya yang berpotensi longsor dengan tujuan untuk menjaga kestabilan lereng. Tanaman yang digunakan harus memiliki kemampuan mengikat agregat tanah yang kuat sehingga tidak mudah bergerak dan relatif ringan (tidak membebani lahan), dan mampu menyimpan air dalam jumlah yang cukup banyak serta mampu menguapkan air relatif cepat. Dengan demikian tanah tidak mendapat beban berlebih akibat suplai air hujan dan beban tanaman. Tanaman pelindung yang digunakan juga harus disesuaikan dengan kemampuan lahan setempat dan diusahakan merupakan tanaman yang mudah dibudidayakan (Santoso, et.al., 2004, dalam Adibrata, 2007 : 126).

Mitigasi Bencana Gempa Bumi di candi Borobudur
Candi Borobudur sebagai salah satu candi terbesar di dunia dan memiliki nilai penting yang sangat tinggi, merupakan salah satu daerah kunjungan wisata di Indonesia dan banyak dikunjungi dikunjungi oleh wisataean baik wisatawan nusantara maupun wisatawan macam negara. Dari data pengunjung, dapat diketahui kunjungan wisatawan setiap tahun ke candi tersebu lebih dari 1 juta orang. Melihat kondisi demikian jika terjadi bencana alam seperti gempa bumi, yang menjadi korban, tidak hanya pada candi Borobudur sebagai sumberdaya arkeologi tetapi juga wisatawan yang mengunjungi candi tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan manajemen mitigasi bencana gempa bumi pada candi tersebut untuk menghindari dan mengurangi kerusakan dan korban yang timbul jika pada suatu saat jika terjadi bencana gempa bumi. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam konteks manajemen mitigasi bencana di candi Borobudur sebagai berikut :
1. Memperkuat struktur bangunan candi Borobudur yang meliputi struktur pondasi untuk menahan getaran jika terjadi gempa bumi; dan struktur komponen-komponen arsitektur pada candi tersebut sehingga bila ada gempa bumi tidak mudah runtuh dan jatuh mengenai wisatawan.
2. Mempersiapkan jalur evakuasi dan tempat yang aman untuk mengevakuasi pengunjung jika terjadi gempa bumi.
3. Memberikan informasi kepada wisatawan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan gempa bumi dan apa yang diharuskan jika terjadi gempa bumi sehingga pada diri setiap wisatawan mempunyai kesiapan dan kesiagaan dalam menghadapi gempa bumi. Jika hal ini telah dilakukan akan mempermudah dalam melakukan evakuasi.
4. Memberi tanda-tanda arah di mana jalur dan tempat evakuasi pada wisatawan
5. Memasang alat peringatan dini jika terjadi gempa bumi di Candi Borobudur
6. Mempersiapakan dan melatih tenaga-tenaga yang siap membantu dan mengarahkan wisatawan jika terjadi gempa bumi.

Penutup
Di kawasan Borobudur terdapat lokasi yang rawan terhadap bencana alam gempa, gerakan tanah dalam hal ini longsor dan bencana gunung api (gunung Merapi). Untuk daerah rawan gampa bumi, seluruh sumberdaya arkeologi rawan terhadap ancaman gempa bumi. Hal ini disebabkan gempa bumi bisa terjadi di mana saja tanpa dduga termasuk di kawasan Borobudur. Sedangkan untuk daerah rawan bencana longsor, sebagian besar sumberdaya arkeologi termasuk dalam katagori kerawanan sangat rendah dan aman dari ancaman bencana longsor. Hanya ada beberapa sumberdaya arkologi yang masuk kategori kerawanan sangat tinggi dan menengah, namun sumberdaya arkeologi tersebut, hanya berupa temuan lepas.
Kawasan Borobudur tidak termasuk dalam wilayah zona 1 dan zona 2 daerah rawan bencana gunung Merapi, akan tetapi dampak sekunder aktivitas gunung Merapi berupa hujan abu sangat mengganggu kelestarian sumberdaya arkeologi yang ada. Untuk menghadapi ancaman bahaya bencana alam pada sumberdaya arkeologi dan lingkungannya, perlu diambil langkah-langkah pencegahan berupa manajemen mitigasi bencana sehingga akan timbul kesiapan dan kesiagaan dalam menghadapi ancaman bencana alam.


Daftar Pustaka
Adibrata, Ambarini 2007 “Bahaya Longsor Pada Situs-situs Arkeologi di Pegunungan Baturagung Daerah Istimewa Yogyakarta” Tesis Program Studi Geografi Program Pasca Sarjana UGM.
Hadiwonggo, Hernowo 2002 “ Strategi Mitigasi Bencana Dalam Rangka Perlindungan dan Pelestarian Benda Cagar Budaya, Museum dan Situs Berdasarkan Manajemen Bencana” Makalah pada Pendidikan Manajemen Siaga Bencana Benda Cagar Budaya, Museum dan Situs. Jakarta : Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata..
Karnawati, Dwikorita, 2007 “Antisipasi Bahaya Geologi Dalam Konteks Tata Ruang” Makalah dalam Seminar Nasional Manajemen Bencana dalam Konteks Tata Ruang. Yogyakarta : IMPI UGM
Subroto, Ph. 1994. “Pola-pola Zonal Situs-situs Arkeologi”, dalam Berkala Arkeologi Manusia dalam Ruang : Studi Kawasan dalam Arkeologi. Tahun XVI, edisi Khusus. Yogyakarta : Balai Arkeologi
Tjahjono, Baskoro Daru, 1996 “Pemikiran Inklusif Atas Dampak Pembangunan Terhadap Kelestarian Sumberdaya Arkeologi” Berkala Arkeologi No. 1 Tahun XVI. Jogyakarta : Balai Arkelogi

Selasa, 25 Agustus 2009


PEMANFAATAN DAN DAMPAK PARIWISATA TERHADAP CANDI BOROBUDUR

Oleh : Yudi Suhartono

I. Pendahuluan
Candi Borobudur adalah hasil karya masa silam yang terletak di Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi itu saat ini merupakan salah satu obyek daya tarik wisata (ODTW) di Indonesia yang banyak dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 Masehi, tidak diketahui berapa lama candi ini berfungsi sebagai bangunan suci agama Buddha, dan tidak pula diketahui sejak candi ini lenyap dari ingatan bangsa kita. Dalam abad ke 18 Candi Borobudur dikenal sebagai tempat yang dapat menimbulkan malapetaka. Menurut Babab Tanah Jawa, dalam tahun 1710 ada seorang pemberontak yang dikepung dan ditangkap di bukit budur. Dalam tahun 1758 seorang pangeran Yogya pergi ke Budur untuk menyaksikan seribu buah patung yang ada disana, dan terutama untuk mengunjungi seorang kesatria yang terkurung dalam sangkar. Kunjungan ini ternyata mencelakakan dirinya karena tak lama kemudian ia meninggal dunia (Soekmono, 1972)
Pada tahun 1814, Sir Thomas Stamford.Raffles sebagai gubernur jendral yang memerintah jajahan Inggris di Jawa (1811-1815), sewaktu berkunjung ke Semarang mendapat laporan bahwa di desa Borobudur ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah. Raffles segera mengirimkan seorang perwira bernama H.C. Cornelius untuk melihat sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon dan semak belukar. Tampak di atas bukit itu batu-batu candi berserakan. Dengan bantuan penduduk desa, H.C. Cornelius segera melakukan pembersihan dengan menebangi pohon-pohon, membakar semak belukar dan menyingkirkan tanah dari atas bukit itu. Pekerjaan membersihkan memakan waktu yang cukup lama, sehingga baru pada tahun 1934 atas usaha residen Kedu, bentuk candi dapat ditampakkan seluruhnya menjulang ke atas (Soekmano, 1972 ; Soetarno, 1986).
Dalam tahun 1882 ada usulan untuk membongkar seluruh bangunan dan memindahkan relief-reliefnya ke museum. Keadaan Candi Borobudur sudah terlalu rusak dan mengkhawatirkan, sehingga disayangkan kalau relief-relief yang begitu indah di Candi Borobudur akan hancur. Usulan ini tidak mendapat respon, tetapi menimbulkan pemikiran untuk mencari usaha menyelamatkan Candi Borobudur dari bahaya kehancuran. Pada tahun 1907 - 1911 T. Van Erp melakukan restorasi terhadap Candi Borobudur. T. Van Erp memulai pekerjaan dengan melakukan restorasi terhadap pagar-pagar langkan, dinding lorong pertama, saluran-saluran air di lereng bukit, tangga-tangga bagian bawah, gapura-gapura dan relung-relung beserta stupa-stupa kecilnya. Bagian arupadhatu dengan lingkaran stupa-stupanya diibongkar secara keseluruhan, kemudian dipasang kembali, demikian pula pagar langkan yang paling atas. Setelah 62 tahun pemugaran yang dilakukan T. Van Erp, kondisi candi mengalami kerusakan yang cukup parah. Kemudian pada tahun 1973 sampai tahun 1983, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNESCO melakukan restorasi besar-besaran terhadap Candi Borobudur, dengan harapan Candi Borobudur dapat bertahan selama 1000 tahun (Soekmono, 1972).
Keberhasilan pemugaran Candi Borobudur telah mengangkat Indonesia sebagai salah satu bangsa yang dianggap cukup berhasil dalam pelestarian warisan budaya. Sejak diresmikannya purna pugar tahun 1983, Candi Borobudur semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan manca negara yang ingin secara langsung melihat keindahan Candi Borobudur
Banyaknya wisatawan yang mengunjungi candi Borobudur menyebabkan Borobudur menjadi pusat perhatian dari pemerintah dan kemudian menjadikan candi Borobudur sebagai Taman Wisata dengan mendirikan perusahaan perseroan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan sebagai pengelola lingkungan khususnya zone 2 kawasan Borobudur. Keputusan ini merupakan suatu terobosan dan gejala baru dalam pengelolaan warisan budaya karena selama ini kegiatan itu selalu berada langsung di bawah lembaga pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Konsep awal sebelum didirikannya PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan adalah Tapurnas (Taman Purbakala Nasional), namun selanjutnya yang disetujui adalah PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan. PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan berdiri pada bulan Juli 1980. Perusahaan ini adalah perusahaan negara penuh, kepemimpinannya di tangan Direktur Jenderal Pariwisata, anggota Dewan terdiri dari Direktur Jenderal Kebudayaan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan perwakilan Departemen Keuangan (Taufik, 2000 : 5)
Dengan adanya candi Borobudur sebagai wisata budaya yang bersifat nasional maupun internasional membawa perubahan yang cukup besar baik terhadap bangunan candi itu sendiri maupun terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan candi Borobudur. Dampak terhadap bangunan candi Borobudur diantaranya adalah mulai terganggunya kelestarian bangunan Candi Borobudur akibat dari banyaknya pengunjung yang naik ke candi borobudur dan ulah tangan-tangan jahil dari pengunjung itu sendiri.

II. Dampak Pemanfatan Candi Borobudur Sebagai Oyek Pariwisata
Istilah “pariwisata” konon untuk pertama kali digunakan oleh mendiang Presiden Soekarno dalam suatu percakapan sebagai padanan dari istilah asing “tourism”, yang berarti pariwisata. Sementara itu dimaksud dengan pariwisata ialah segala kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan, sedangkan wisatawan adalah orang yang mengadakan perjalanan dari tempat kediamannya tanpa menetap di suatu tempat yang didatanginya atau hanya untuk sementara waktu tinggal di tempat yang didatanginya (Soekadjijo, 1997).
Sedangkan dampak menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik positif maupun negatif) (Alwi, dkk, 2005). Dilihat dari sifatnya, dampak dari suatu aktivitas atau perubahan dapat dibedakan menjadi: menjadi dua yaitu dampak positif dan dampak negatif,. Dampak positif adalah akibat yang dinilai baik atau menguntungkan dari suatu kegiatan atau perubahan, sedangkan dampak negatif adalah sebaliknya, akibat negatif dari suatu kegiatan atau perubahan.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa pengelolaan Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata dilakukan oleh sebuah Perseroaa Terbatas yang bernama PT. Taman Wisata Candi Borobuudr, Prambanan dan Ratu Boko. Kebijakan pengelolaan ini membawa membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan candi ini di masa yang akan datang. Promosi yang dilakukan secara besar-besaran oleh managemen perusahaan tersebut baik di dalam negeri maupun di luar negeri telah mengundang jutaan wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur. Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran wisatawan ke Borobudur telah membawa dampak positif yang sangat besar pada masyarakat disekitarnya seperti peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapangan kerja baru, walaupun juga terdapat dampak negatif seperti menipisnya nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Borobudur ( Ahimsa, 2001 dalam Taufik, 2005)).
Di satu pihak masyarakat dan pemegang saham merasakan dampak positif dari kebijakan pengelolaan tersebut, tetapi di lain pihak objeknya sendiri semakin terancam kelestariannya. Memang ada usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan untuk mengantisipasi dampak negatif yang diperkirakan akan muncul itu seperti membangun taman di sekitar candi untuk tujuan memecah konsentaris pengunjung tetapi usaha itu hampir tidak berfungsi karena wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur langsung naik ke monumen (Taufik, 2005). Pada tulisan ini akan difokuskan pada dampak pemanfaatan pariwisata terhadap bangunan Candi Borobudur dan upaya penanggulangannya.

a. Dampak Positip Pemanfaatan Candi Borobudur
Dampak positip dari pemanfaatan Candi Borobudur adalah semakin diperhatiannya pelestarian dan perlindungan terhadap bangunan Candi Borobudur dan lingkungannya sebagai warisan budaya dunia. Upaya perlindungan terhadap Candi Borobudur dan lingkungan telah dilakukan dalam bentuk pemintakan atau zoning. Pemintakatan yang dilakukan di situs Borobudur merupakan salah satu upaya untuk melindungi Candi Borobudur baik yang disebabkan oleh faktor manusia dan binatang maupun faktor alam. Berdasarkan Masterplan Candi Borobudur yang dibuat pada tahun 1979, yang salah satu bagiannya berisi tentang pembagian zonasi Candi Borobudur dan situsnya (JICA, 1979) Dalam masterplan tersebut Cand Borobudur terbagi menjadi 5 zonasi yang meliputi :
1. Zona 1. Zona ini merupakan zona Inti (Sanctuary area), dengan luas areal sekitar 0.078 Km². Zona tersebut secara khusus diperuntukkan untuk perlindungan monumen dan lingkungannya. Di dalam zona ini tidak diperkenankan mendirikan bangunan dan fasilitas baru yang bertentangan dengan prinsip pelestarian. Fasilitas yang ada hanya berupa pos keamanan, penerangan listrik, pagar, sistem drainase yang semuanya untuk tujuan perlindungan dan pelestarian bangunan Candi Borobudur.
2. Zona II. Zona ini merupakan zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah dengan luas areal 0.87 Km². Pada zona ini dapat diberi fasilitas baru namun harus dibatasi jumlahnya, diawasi bentuk arsitekturnya dan keserasian lingkungannya. Semuanya tidak bertentangan dengan upaya pelestarian dan menimbulkan pencemaran aspek arkeologi. Fasilitas yang ada misalnya museum, tempat parkir, toilet, tempat ibadah, warung cinderamata, loket karcis.
3. Zona III. Zona ini merupakan zona pengembangan (Development zone) dengan luas sekitar 10 Km². Zona tersebut merupakan kawasan pemukiman terbatas, daerah pertanian, jalur hijau, dan fasilitas khusus yang dibuat dalam rangka menunjang kelestarian candi.
4. Zona IV. Zona ini merupakan zona perlindungan kawasan bersejarah (Historical scenery preservation zone) dengan luas areal sekitar 26 Km².
5. Zona V. Zona ini merupakan zona perlindungan kawasan bersejarah dengan luas areal sekitar 78,5 Km², yang diperlukan dalam rangka penanggulangan kerusakan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala yang masih terpendam dalam tanah.

Berakhirnya kegiatan pemugaran tahun 1983 dan dijadikannya Candi Borobudur sebagai objek wisata tidak berarti usaha pelestariannya juga berakhir. Untuk menjaga kelestarian candi ini, pemerintah Republik Indonesia melalui surat keputusannya nomor 0605/0/ 1991 tanggal 30 November 1991 membentuk suatu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yaitu Kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudu (sekarang Balai Konservasi Peninggalan Borobudur), yang bertugas melakukan pemeliharaan terhadap candi terseebut. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur mempunyai tugas dan fungsi yang meliputi :
· Pelaksanaan kajian bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi di lingkungan Candi Borobudur serta peninggalan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan dan pemanfaatan hasil kajian bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi di lingkungan Candi Borobudur serta peninggalan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan pelayanan dan pengembangan, serta pelatihan tenaga teknis dibidang konservasi peninggalan purbakala;
· Pelaksanaan studi konservasi situs Borobudur serta peninggalan sejarah dan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan perawatan, pengamanan, serta pemeliharaan koleksi Candi Borobudur;
· Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi situs Borobudur dan peninggalan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.
Selama ini, biaya perawatan Candi Borobudur berasal dari APBN melalui dana rutin Balai Konservasi Peninggalan Borobudur dan anggaran Proyek Peninggalan Sejarah dan Purbakala Candi Borobudur, tetapi mulai tahun 2004 ini, pihak direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko menyediakan dana untuk kegiatan pelestarian Candi Borobudur. Dana tersebut diperoleh berdasarkan surat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kepada Menteri BUMN dengan nomor UM.0013/4/19/MKP/03 tanggal 10 November 2003 dan Nota Dinas Deputi Peninggalan Sejarah dan Purbakala kepada no. 97/ND/D.II/SP/V/2004 tanggal 28 Mei 2004 kepada Direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (Taufik, 2005).

b. Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur
Kegiatan pemanfataan Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata, selain membawa dapak positif, juga membawa dampak negatif terhadap Candi Borobudur dan mengganggu upaya pelestarian terhadap candi tersebut.
Dampak negatif pemanfaatan candi Borobudur antara lain meliputi :

· Vandalisme
Vandalisme dapat diartikan sebagai vandalisme diartikan sebagai perbuatan merusak dan menghancurkan hasil seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya), perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas (Alwi, dkk, 2005).
Kegiatan vandalisme yang terjadi di Candi Borobudur terdiri dari empat jenis yaitu; sampah, pencungkilan relief, corat-coret, menaiki bagian atas candi dan peledakan. Vandalisme berupa pencungkilan relief terdapat tiga kasus yaitu tanggal 12 Juli 1994 seorang dengan membawa parang naik ke catra stupa induk kemudian menebaskan parangnya ke batu-batu candi akibatnya beberapa batu penyusun catra gempil, tanggal 20 November 1997 seorang turis Jepang mencungkil relief Gandavyuha lorong III sisi Timur bidang A, tanggal 12 Maret 2002 seorang wisatawan lokal berusaha mencungkil relief Jataka sisi Selatan lorong I pagar langkan dan kebetulan tertangkap oleh petugas keamanan. Vandalisme berupa corat – coret pada batu-batu candi ditemukan di beberapa tempat, dalam setahun ditemukan kurang lebih 20 tempat (Taufik, 2005). Jenis alat tulis yang digunakan adalah spidol, stip ex, pilox, benda tajam, dan ball point. Kegiatan vandalisme di Candi Borobudur akan meningkat seiring dengan masuknya liburan sekolah yaitu bulan Mei sampai dengan bulan Juli.
Selain hal-hal di atas, kegiatan vandalisme yang sering dilakukan oleh pengunjung adalah dengan menaiki dan berdiri di bagian atas bangunan candi, dengan berbagi alasan seperti untuk memotret, melihat pemandangan dan berbagai alasan lainnya. Menaikii bagian atas candi membawa resiko yang cukup besar, selain membahayakan jiwa pengunjung jika terjath, juga bisa merusak komponen batu candi yang bisa lepas dan pecah akibat dinaiki pengunjung. Jenis vandalisme terbesar yang pernah terjadi di Candi Borobudur adalah peledakan 9 buah stupa teras yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab pada tanggal 21 Januari 1985

· Sampah
Sampah adalah segala benda atau bahan yang terbuang karena kegiatan manusia. Sampah dapat berbentuk padat, cairan, dan gas. Sampah yang ditemukan berserakan pada lantai Candi Borobudur berupa kertas pembungkus, sisa makanan, plastik, , puntung rokok, kotoran manusia, daun, biji-bijian, buah-buahan, pecahan botol, kaleng minuman, dan abu.
Adanya sampah di Candi Borobudur dapat mempercepat proses pelapukan batu-batu candi. Sampah yang ukurannya kecil dapat masuk ke sela-sela batu yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan pada saluran air. Saluran air yang dimaksud di sini adalah berupa parit-parit kecil di bawah lantai pada setiap lorong yang dihubungkan dengan saluran pembuangan berupa paralon yang akan mengalirkan nya ke kaki bukit Candi Borobudur. Akibat penyumbatan pada saluran-saluran air tersebut, maka akan terjadi rembesan. Rembesan inilah yang akan menjadi perantara terjadinya pelapukan batu. Beberapa faktor pelapuk yang akan timbul akibat rembesan air tersebut seperti; terjadinya endapan garam, dan terjadinya pertumbuhan mikro organisme. Mikro organisme yang akan tumbuh akibat rembesan air itu antara lain lumut (mos), jamur kerak (licen), dan ganggang (algae). Selain dapat menyumbat saluran-saluran air, sampah berupa biji-bijian seperti biji jeruk, rambutan dan salak dapat tumbuh di selah-selah batu Candi Borobudur. Tumbuhnya biji buah-buahan tersebut dapat mempercepat proses pelapukan batu candi karena akar-akarnya dapat masuk pada pori-pori batu yang pada akhirnya membuat batu-batu candi menjadi pecah (Taufik, 2005). Produksi sampah di Candi Borobudur berbanding lurus dengan jumlah wisatawan yang mengunjunginya. Semakin banyak wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur semakin banyak sampah yang ditimbulkannya. Produksi sampah akan lebih banyak jika musim liburan sekolah dan hari raya.

· Keausan
Di Candi Borobudur ditemukan beberapa batu penyusun mengalami keausan yang tersebar pada lantai dan tangga candi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh di Candi Borobudur ditemukan 801 blok batu yang mengalami keausan (Sutantio, 1985 dalam Taufik, 2005). Hasil pengamatan di tahun 2000 jumlah batu yang mengalami keausan menjadi 1.383 blok batu ( Sadirin, 2002 dalam Taufik, 2005)), berarti terjadi peningkatan sebesar 582 blok batu. Jika dirata-rata, setiap tahun terjadi keausan sebesar 36 blok batu. Jika keausan batu-batu Candi Borobudur mulai terjadi ketika pertamakali dimanfaatkan sebagai objek wisata, maka proses keausan itu sudah berlangsung selama 20 tahun. Selama 20 tahun itu, Candi Borobudur telah dikunjungi oleh wisatawan sebanyak 35.766.820 orang. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa keausan pada lantai lorong dan teras arupadatu berkisar antara 0,2 – 1,5 cm, tangga sisi timur antara 0,2 - 1,8 cm, dan tangga di ketiga sisi lainnya antara 0,2 - 1,3 cm (Taufik, 2005)
Terjadinya keausan pada batu Candi Borobudur karena adanya pergesekan antara alas kaki pengunjung dengan lantai ataupun anak tangga. Kekuatan gesekan antara alas kaki dengan batu candi sangat dipengaruhi oleh massa (m) dan sudut gesekan yang terbentuk ketika sedang berjalan di lantai atau sedang menaiki dan menuruni tangga (Taufik, 2005). Perlu diketahui bahwa gesekan antara alas kaki dengan batu candi saja tidak akan mengakibatkan keausan pada batu, karena tingkat kekerasan batu candi jauh lebih besar dari pada semua jenis alas kaki yang digunakan pengunjung Candi Borobudur. Batu penyusun Candi Borobudur adalah batu andesit yang mempunyai tingkat kekerasan 5 - 7 skala Mohs, sementara alas kaki pengunjung hanya berkisar antara 1 – 3 skala Mohs (Hoef, 1992. Hal; 5 dalam Taufik , 2005).
Terjadinya keausan pada batu candi disebabkan oleh gesekan antara pasir yang menempel pada alas kaki pengunjung dengan batu candi. Hal ini sangat memungkinkan karena pasir yang menempel pada alas kaki tersebut mempunyai unsur Silica (Si) yang tingkat kekerasannya adalah 7 skala Mohs. Pasir yang melekat pada alas kaki pengunjung tersebut berasal dari halaman candi, apalagi saat ini di halaman Candi Borobudur dibuat jalan setapak yang bahan penyusunnya terdiri atas pasir dicampur dengan tanah liat (Taufik, 2005).

c. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur
Upaya penanggulangan dampak negatif pemanfaatan Candi Borobudur sebagai objek wisata dirasakan sebagai upaya yang sangat mendesak dan perlu penanganan serius. Dengan dimanfaatkannya candi Borobudur sebagai objek wisata secara komersial, terutama setelah didirikannya PT. Taman Wisata Candi Borobudur- Prambanan sebagai pengelola candi, upaya perlindungan dirasakan semakin diperlukan karena promosi yang dilakukan oleh lembaga tersebut akan mengundang wisatawan semakin banyak ke Borobudur. Padahal semakin meningkatnya wisatawan, semakin meningkat pula dampak yang ditimbulkannya terutama kerusakan batu-batu penyusun Candi Borobudur.
Di lain pihak, Candi Borobudur telah masuk dalam daftar World Heritage List (WHL) sebagai Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage) dengan nomor 348 tertanggal 13 Desember 1991 dan kemudian diperbarui menjadi Nomor 592 Tahun 1991. Selain itu, dalam ICOMOS (Charter for the Protection and Management of the Archaeological Heritage) tahun 1990 pasal 2 dijelaskan bahwa pusaka arkeologi seperti Borobudur dan situs di sekitarnya merupakan sumberdaya budaya tidak terbarukan. Hal ini menyebabkan Candi Borobudur menjadi perhatian dunia dan keberadaannya dipantau terus-menerus oleh UNESCO, sehingga perlu dijaga kelestariannya.
Selain telah diakui sebagai warisan budaya dunia, Candi Borobudur juga dilindungan oleh Undang-undang Republik Indoensia Nomer 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomer 5 tahun 2002 tentang Benda Cagar Budaya. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk melindungi dan melaestarikan Candi Borobudur supaya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur, perlu dilakukan upaya-upaya menanggulangi dampak negetif pemanfaatan Candi Borobudur sebagai berikut :
1. Melakukan sosialisasi Undang-undang Nomer 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya beserta peraturan lain yang mendukung ke sekolah-sekolah, intansi pemeritah maupun swasta serta masyarakat umum. Dengan kegiatan ini diharapkan tumbuh rasa memiliki dan mencintai benda cagar budaya peninggalan masa lalu, yang akhirnya dapat ikut menjaga kelestariannya.
2. Melakukan publikasi secara luas kepada masyarakat mengenai pentingnya Candi Borobudur sebagai warisan budaya bangsayang harus dijaga kelestarian, melalui radio, televisi dan media massa lainnya. Selain itu juga diperlukan peran aktif pengelola Candi Borobudur dan masyarakat yang berkepentingan dengan Candi Borobudur. Dengan publikasi ini, diharapkan masyarakat yang akan berkunjung ke Candi Borobudur menyadari pentingnya Candi Borobudur sebagai warisan budaya bangsa, yang akhirnya dapat menjaga kelestarian Candi Borobudur dengan tidak ikut merusak ketika mengunjungi candi tesebut.
3. Memasang papan-papan pengumuman mengenai bagimana mengunjungi Candi Borobudur, seperti di pintu masuk yang isinya melarang wisatawan membawa makanan, alat tulis, dan benda tajam ke atas monumen kecuali minuman yang kemasannya dapat didaur ulang seperi air mineral, selain minuman kemasan tersebut semua barang harus ditinggal di kendaraan masing-masing. Larangan membawa barang selain minuman ke atas candi bertujuan untuk menghindari terjadinya kegiatan vandalisme dan pengotoran (sampah). Selain itu, di halaman dan bangunan candi juga dipasang pengumuman yang isinya antara lain di larang melakukan corat coret pada komponen bangunan candi, di larang menaiki bagian candi, buanglah sampah pada tempat yang telah disediakan dan beberapa pengumuman lainnya.
Pemasangan papan-papan pengumuman itu tidak ada artinya jika tidak ada kerjasama antara pengelola Candi Borobudur dengan masyarakat yang berkepentingan dengan Candi Borobudur seperti fotografer dan pemandu wisata untuk ikut bersama-sama memberikan pengertian kepada pengunjung agar dapat mentaati peraturan yang ada dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan dan merusak bangunan Candi Borobudur. Peran aktif dari masyarakat sangat membantu dalam upaya pelestarian dan perlindungan Candi Borobudur.
4. Mengatur dan mendistribsikan pengunjung agar tidak secara bersamaan naik ke Candi Borobudur. Di taman wisata Candi Borobudur terdapat berbagai fasiitas pendukung wisatawan audio viusal, museum, pertunjukan tarian tradisional dan berbegai fasilitas lainnya.
Pengaturan dan pendistribusian pengunjung dimaksudkan untuk membatasi pengunjung (wisatawan) agar tidak bersamaan naik ke monumen dalam waktu yang sama. Pembatasan pengunjung tersebut dimaksudkan untuk membatasi beban dinamis yang harus ditanggung Candi Borobudur. Makin banyak pengunjung yang naik ke Candi Borobudur dalam waktu yang bersamaan, makin berat beban yang ditanggung candinya. Makin berat beban makin besar kemungkinan terjadinya keretakan batu-batu penyusun candinya. Selain karena mengurangi beban, daya tampung Candi Borobudur juga sangat terbatas. Menurut perhitungan hubungan (korelasi) luas lantai candi dengan kapasitas ideal pengunjung Candi Borobudur, bahwa luas lantai candi secara keseluruhan 8.559 m2 kapasitas maksimal pengunjung yang dianjurkan adalah sebesar 4.989 orang dalam waktu yang bersamaan. Penjelasannya yaitu untuk menikmati atau mengamati relief pada tubuh candi diperlukan luasan sebesar 1,25 m x 1,25 m atau sama dengan 1,50 m2. (Taman Wisata Candi Borobudur, prambanan dan Ratu Boko, Tanpa Tahun; Hal: 10 – 11 dalam Taufik, 2005). Di sini juga diperlukan peran aktif masyarakat yang berkepentingan dengan Candi Borbudur untuk dapat memberi inforasi kepada pengunjung mengenai hal-hal yang telah disebutkan di atas..
5. Diperlukan kerjasama semua pihak seperti pengelola candi Borobudur, intansi pemerintah maupun swasta serta masyarakat untuk bersama-sama menjaga pelestarian dan perlindungan Candi Borobuudur sebagai warisan budaya milik bersama yang dapat di wariskan kepada generasi yang akan datang.

III. Penutup
Pemanfataan Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata tingkat dunia membawa dampak bagi kelestarian Candi Borobudur baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positip terlihat dengan adanya perhatian terhadap upaya pelestarian Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia. Sedangkan dampak negatif disebabkan oleh ulah pengunjung yang berakibat dapat mengganggu kelestarian Candi Borobudur. Untuk dapat meminimalkan dampak negatif diperlukan peran serta semua unsur masyarakat dan kerjasama dengan pengelola Candi Borobudur sehingga kelestarian Candi Borobudur dapat terjaga dengan baik dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
JICA. 1979 Masterplan Borobudur Archaeology Park. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.
Soetarno. 1986. Aneka Candi Kuna di Indonesia. Semarang : Effhar & Dahara Prizw.
Soekadijo, R.G. 1996. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soekmono, R., 1972 “Riwayat Usaha Penyelamatan Candi Borobudur”, Pelita Borobudur, Seri A.1. Proyek Pelita Restorasi Candi Borobudur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Taufik, Muhammad 2000 Studi Dampak Pemanfaatan Candi Borobudur. Borobudur : Balai Studi dan Konservasi Borobudur
----------------------- 2005 Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaaatan Candi Borobudur Sebagai Objek wisata. Tesis Program Studi Arkeologi, Yogyakarta : Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.

Senin, 24 Agustus 2009

PEMANFAATAN GIS UNTUK PELESTARIAN SITUS-SITUS SEKITAR BOROBUDUR
Oleh : Yudi Suhartono


I. Pengertian GIS
Geographic information system (GIS) adalah suatu sistem berbasis komputer yang mempunyai kemanpuan pamasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat penting bagi pengambilan keputusan. SIG adalah sistem komputer yang terdiri dari perangkat keras, perangkat lunak dan personal (manusia) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, mannipulasi, menganalisa dan menyajikan untuk semua informasi yang berorientasi geografis (Aronoff, 1989).
Geographic information system menyajikan Informasi spasial memakai lokasi, dalam suatu sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Karenanya GIS mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Aplikasi GIS mampu menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi, kondisi, trend, pola, dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem informasi lainnya (Puntadewa, dkk, 2003 : 9).
GIS mampu membuat (menggambarkan) peta dengan lebih fleksibel, bahkan dibanding dengan menggambar peta secara manual, atau dengan pendekatan kartografi yang serba otomatis. Dimulai dengan membuat database. gambar peta yang sudah ada bisa digambar dengan digitizer, dan informasi tertentu kemudian bisa diterjemahkan ke dalam GIS. Database kartografi berbasis GIS dapat bersambungan dan bebas skala. Peta-peta kemudian bisa diciptakan terpusat di berbagai lokasi, dengan sembarang skala, dan menunjukkan informasi terpilih, yang mencerminkan secara efektif untuk menjelaskan suatu karakteristik khusus.
Kemampuan tersebut membuat sistem informasi GIS berbeda dengan sistem informasi pada umumnya. Informasi dari GIS mampu untuk memberikan penjelasan tentang suatu peristiwa, membuat peramalan kejadian, dan perencanaan strategis lainnya. Oleh kemampuannya tersebut, aplikasi GIS telah banyak digunakan pada sektor-sektor yang bersetuhan langsung dengan dinamika dan problematika kehidupan seperti masalah pengelolaan lingkungan, kependudukan, perencanaan wilayah, pertanahan, pariwisata, ekonomi, bisnis, marketing, telokomunikasi, transportasi, navigasi, militer dan lain sebagainya termasuk untuk pelestarian Sumberdaya arkeologi.


II. Pembangunan dan pelestarian sumberdaya arkeologi
Pembangunan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu keadaan dan kondisi ke masyarakat tertentu kepada suatu keadaan dan kondisi ke masyarakat yang dianggap lebih baik atau yang diinginkan. Pembangunan di Indoensia, dilakukan di segala bidang meliputi pembangunan berbagai sektor seperti Ilmu pengetahuan dan teknologi, ideologi, sosial, budaya, politik dan hankam. Khusus pembangunan di bidang kebudayaan adalah termasuk pengelolaan sumber daya arkeologi atau dalam Undang-undang RI No, 5 tahun 1992 disebut Benda cagar budaya dan situsnya. Untuk menunjang keberhasilan pembangunan itu segala sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan dan dikelola dengan serasi, seimbang dan selaras untuk kemanfaatan masyarakat dalam arti luas. Sumberdaya itu meliputi sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya budaya (arkeologi) (Kusumohartono, 1995 : 5). Semuanya itu bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mengejar ketinggalan dengan negara-negara lain yang sudah maju. Dalam kenyataaannya dari berbagai bidang pembangunan tersebut, terlihat bahwa pembangunan yang dilakukan masih menprioritaskan pada pembangunan bidang sarana fisik yang menekankan pada peningkatan ekonomi.
Dalam kenyataannya pula upaya pelestarian sumber daya arkeologi sering berbenturan dengan pembangunan di bidang prasarana fisik tersebut. Pembangunan bidang sarana fisik sering berdampak negatif bagi upaya pelestarian sumberdaya arkeologi. Rencana pengembangan kota atau wilayah masih sering mengabaikan keberadaan sumberdaya arkeologi, pendirian pabrik-pabrik, pembangunan waduk, pembangunan jalan tol seringkali terpaksa menghancurkan, memusnahkan atau menenggelamkan sumberdaya arkeologi yang ada. Dengan demikian pembangunan sering dianggap negatif bagi pelestarian sumber daya arkeologi, apakah selalu demikian dan tidak ada jalan pemecahan yang bisa mempertemukan kedua belah pihak untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh pembangunan pada pelestarian sumber daya arkeologi (Tjahjono, 1996 : 40).

III. Pembangunan dan pelestarian situs-situs di sekitar Borobudur
Keberhasilan pemugaran Candi Borobudur telah mengangkat Indonesia sebagai salah satu bangsa yang dianggap cukup berhasil dalam pelestarian warisan budaya. Sejak diresmikannya purna pugar tahun 1983, Candi Borobudur semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan manca negara yang ingin secara langsung melihat keindahan Candi Borobudur
Banyaknya wisatawan yang mengunjungi candi Borobudur menyebabkan Borobudur menjadi pusat perhatian dari pemerintah dan kemudian menjadikan candi Borobudur sebagai Taman Wisata dengan mendirikan perusahaan perseroan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan sebagai pengelola lingkungan khususnya zone 2 kawasan Borobudur pada tahun 1980. Dengan dibentuknya PT. Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan, dimulainya pembangunan di kawasan Borobudur.
Dengan dibangunya Taman Wisata Candi Borobudur otomatis membutuhkan lahan yang luas sekitar 82,4 Ha. Hal ini membuat masyarakat yang tinggal di sekitar candi Borobudur harus rela meninggalkan rumahnya dan pindah agak jauh dari Candi Borobudur yang selama ini mereka tempati. Dari data yang ada, diketahui bahwa di lokasi taman wisata ini terdapat beberapa dusun yang berada dalam wilayah Desa Borobudur. Dusun-dusun antara lain Ngaran dan Kenayan. Dusun-dusun tersebut kemudian dipindahkan ke luar kompleks Taman Wisata candi Borobudur. Pemindahan penduduk tersebut dengan dua cara, yang pertama berpindah penduduk ke dusun-dusun sekitar yang tidak tergusur dan kedua, membentuk kapling / dusun baru ke lokasi yang sebelumnya berupa hutan / lahan kosong, yang sekarang masuk zona 3 Borobudur. Dusun-dusun baru tersebut adalah Kenayan, Kapling Jayan, Kapling Janan dan Kapling Jligudan. Selain perpindahan penduduk, pembuatan Taman wisata juga berdampak pada pemindahan sarana dan fasilitas umum seperti pasar, kantor camat dan lain sebagainya, yang sebelumnya berada di lokasi tersebut. Perpindahan dusun-dusun dan fasilitas umum tersebut tentunya membutuhkan areal baru yang cukup luas dan hal demikian sebenarnya sangat riskan mengingat lingkungan candi Borobudur juga merupakan situs dan diduga banyak mengandung temuan arkeologi dan telah dicatatkan dalam laporan yang dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam laporan tersebut dapat diketahui bahwa disekitar Candi Borobudur yang bersifat Buddha terdapat candi-candi yang bersifat Hindu (N.J. Krom, 1914 : 211-277). Laporan Belanda yang disusun dalam buku Rapporten van den Ouheidkundigen Dienst in Nederlandsch Indie (ROD) 1914 menyebutkan adanya beberapa candi Hindu di sekitar Candi Borobudur. Di dalam buku tersebut dilaporkan adanya temuan-temuan arkeologis di daerah Magelang, seperti candi Borobudur, candi Pawo, candi Mendut, candi Banon serta arca-arca dewa Hindu dan Buddha baik dari batu maupun perunggu.
Namun sayang sekali, dalam pemindahan dusun-dusun dan fasilitas umum ke lokasi yang baru tidak disertai dengan penelitian arkeologi, dibuktikan dengan tidak adanya laporan arkeologi mengenai hal tersebut. Jika dilihat dari sejarah kawasan Borobudur yang merupakan daerah kekuasan Mataram kuna pada sekitar abad VII – X M memungkinkan kawasan ini mengandung sumberdaya arkeologi yang cukup padat. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh beberapa penelitian di antaranya Wiwit Kasiati, dkk (1992) dan Yudi Suhartono, dkk (2003 ). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa di sekitar kawasan Borobudur terdapat banyak situs-situs yang mengelilingi candi Borobudur baik itu situs bercirikan agama Buddha maupun agama Hindu.
Perkembangan pembangunan di sekitar candi Borobudur, juga diikuti dengan perpindahan ibu kota kabupaten Magelang pada tahun 1982 dari Muntilan ke Mungkid yang hanya berjarak sekitar 2,5 km dari candi Borobudur dan termasuk dalam kawasan Borobudur (Winarni, 2006 : 93). Pemindahan ibukota kabupaten Magelang berarti juga membutuhkan lahan baru untuk pembangunan perkantoran, pemukiman, tempat usaha dan berbagai jenis aktivitas ekonomi lainnya. Sama halnya dengan pemindahan lokasi pemukiman saat pembangunan PT. Taman Wisata Candi Borobudur yang tanpa disertai dengan penlitian arkeologi, hal ini juga terjadi pada pembangunan fasiltas ibu kota Magelang di Mungkid yang tidak disertai dengan penelitian arkeologi, yang dibuktikan dengan tidak ditemukanya laporan arkeologi mengenai hal tersebut.
Dengan berkembangnya Kawasan Borobudur menjadi daerah pariwisata yang potensial menyebabkan kebutuhan lahan sangat besar untuk pembangunan fasilitasi pendukung pariwisata seperti bangunan hotel, restoran, pertokoan dan lain sebagainya di kawasan tersebut. Pembangunan berbagai fasilitas pariwisata tentunya juga membutuhkan lahan baru, yang jika tidak di kontrol akan mengganggu keberadaan situs-situs arkeologi yang ada. Tulisan di atas bukan bermaksud untuk menyudutkan para pengambil keputusan pada masa lalu, tetapi hal tersebut dapat dijadikan masukan betapa pentingnya informasi mengenai keberadaan situs-situs arkeologi di kawasan Borobudur. Informasi-informasi mengenai situs-situs tersebut sangat dibutuhkan sebagai pertimbangan untuk pengembangan kawasan Borobudur di masa yang akan datang.

IV. Pemanfaatan GIS untuk pelestarian situs-situs di sekitar Borobudur
Pemanfaatan GIS di Indonesia telah banyak dipergunakan untuk membantu pelestarian sumberdaya arkeologi, antara lain penggunaan GIS untuk pelestarian situs-situs di propinsi Jambi, Yogakarta dan lain sebagainya. Alat bantu GIS dipilih karena memiliki kemampuan untuk mengolah data spasial yang lengkap dan terperinci. Selain itu GIS juga mampu menggabungkan semua kemampuan, baik yang hanya berupa sekedar tampilan saja, sistem informasi yang tersaji secara thematis, dan sistem pemetaan yang berdasarkan persebaran situs yang ada, bersamaan dengan kemampuan untuk menganalisa lokasi geografis dan informasi tertentu yang terkait terhadap lokasi yang bersangkutan.
Dengan menggunakan aplikasi GIS, kita dapat memetakan situs-situs di kawasan Borobudur lengkap dengan keletakan koordinat UTM dan informasi lainnya. GIS adalah sebuah aplikasi dinamis, dan akan terus berkembang. Peta yang dibuat pada aplikasi ini tidak hanya akan berhenti dan terbatas untuk keperluan saat dibuatnya saja. Dengan mudahnya kita bisa melakukan peremajaan terhadap informasi yang terkait pada peta tersebut, dan secara otomatis peta tersebut akan segera menunjukkan akan adanya perubahan informasi tadi. Dengan demikian data-data tentang situs-situs di sekitar Borobudur akan diperbaharui setiap waktu sehingga kondisi situs-situs akan diketahui jika terjadi perubahan tata guna lahannya.
Selain inforamsi situs dengan data yang lengkap, dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan di kawasan Borobudur, GIS juga bisa menampilkan tata guna lahan yang ada di kawasan tersebut. Dengan informasi tata guna lahan ini, dapat diketahui arah perkembangan suatu pemukiman penduduk sehingga dapat diantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang akan mengacam kelestarian situs. Tata guna lahan ini kemudian akan digabungkan dengan persebaran situs yang ada di kawasan Borobudur untuk melihat keletakan situs-situs dalam peta tata guna lahan, kemudian akan dianalisis untuk melihat sejauh mana perkembangan lahan di kawasan Borobudur yang dapat mengacam keberadaan situs-situs yang ada
Hasil penggabungan peta persebaran situs dengan peta tata guna lahan bisa digunakan sebagai bahan untuk negosiasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan kawasan Borobudur seperti pemerintah daerah kabupaten Magelang dan instansi terkait lainnya. Perlu diketahui, Perencanaan pembangunan di kabupaten Magelang khususnya di kawasan Borobudur telah dituangkan dalam dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Magelang dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota Mungkid.
Untuk mengantisipasi dampak pembangunan yang ditimbulkan seperti yang direncanakan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten Magelang dan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota Mungkid terhadap situs-situs yang ada di kawasan Borobudur, perlu diberikan informasi mengenai keberadaan situs-situs kepada para pengambil kebijakan di kabupaten Magelang. Informasi ini tidak hanya sekedar peta persebaran situs, tetapi juga diberikan informasi-informasi lainnya yang mendukung seperti informasi tata guna lahan, demografi, potensi pariwisata dan informasi geografis lainnya. Untuk itu hasil dari aplikasi GIS di kawasan Borobudur yang telah lengkap informasinya, dapat digunakan sebagai alat bantu untuk ‘melobi” para pengambil kebijakan supaya dalam melaksanakan pembangunan, tetap memperhatikan keberadaan situs-situs arkeologi yang cukup banyak di wilayah tersebut, sehingga kasus-kasus ‘penggusuran” situs-situs arkeologi akibat pembangunan dapat dicegah dan tidak terulang lagi seperti yang terjadi dimasa lalu. Namun perlu ditekankan dalam hal ini, bahwa hasil aplikasi GIS ini hanya sebuah alat, kepandaian “melobi’ dari pimpinan instansi yang bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya arkeologi sangat diperlukan dan menjadi faktor yang cukup menentukan. Dalam ‘melobi’ dan negosiasi tersebut, perlu juga dipersiapkan perangkat-perangkat hukum yang dapat melindungi keberadaan sumberdaya arkeologi yang ada.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas hanya merupakan sedikit dari pemanfaatan GIS untuk pelestarian situs-situs. Namun demikian, uraian di atas diharapkan bisa membantu ‘menjembati’ permasalahan yang terjadi antara pembangunan sarana fisik dan pelestarian sumberdaya arkeologi di kawasan Borobudur.

DAFTAR PUSTAKA
Aronaff, 1989 Geographic Information System : A Management Perspective. Ottawa Kanada : WDLPublication
Drajat, Hari Untoro, 1995 “Manajemen Sumber Daya Budaya Mati” dalam Seminar Nasional Metodologi Riset Arkeologi. Depok : Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Karyawan, Budi, 2000 “Pemetaan Digital” dalam Buletin Cagar Budaya, Vol. 1 No. 2 Juli Jakarta : Direktorat Purbakala
Kasiati, Wiwit, dkk, 2002Candi-candi Hindu Di Sekitar Borobudur. Borobudur : BSKB
Kusumohartono, Bugie, 1993 “Penelitian Arkeologi dalam Konteks Pengembangan Sumber Daya Arkeologi”, Berkala Arkeologi, Nomor 2 Maret. Jogyakarta : Balai Arkeologi.
Krom, N.J, 1914 Repporter Van Den Oudheidkundige in Neder Landsch Indie. Inventaris der Hindoe-oudheden. Batavia, Gravenhage : M. Nijhoff.
Puntadewo, Atie, dkk, 2002, Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jakarta : Center For International Forestry Research
SA, Nugroho, 2000 “Pemlotan Situs” dalam Buletin Cagar Budaya, Vol. 1 No. 2 Juli. Jakarta : Direktorat Purbakala
Sutopo, Marsis, 1998 “Sistem Informasi Geografis Untuk Pembuatan Peta Distribusi Situs” dalam Bulletin Arkeologi Amoghapasa 6/III/Maret. Batusangkar : SPSP Sumbar dan Riau.
Suhartono, Yudi, dkk, 2003 Studi Arkeologi Yoni-yoni di Sekitar Candi Borobudur. Borobudur : BSKB
Taufik, Muhammad 2004 Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaaatan Candi Borobudur Sebagai Objek wisata. Tesis Program Studi Arkeologi, Bidang Ilmu Humaniora, Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada. Jogyakarta.
Tjahjono, Baskoro Daru, 1996 “Pemikiran Inklusif Atas Dampak Pembangunan Terhadap Kelestarian Sumberdaya Arkeologi” Berkala Arkeologi No. 1 Tahun XVI. Jogyakarta : Balai Arkelogi
Winarni 2006 Kajian Perubahan Ruang Kawasan World Cultural Heritage Candi Borobudur. Tesis Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Yogyakarta : Sekolah Pasca Sarjana UGM