Selasa, 25 Agustus 2009


PEMANFAATAN DAN DAMPAK PARIWISATA TERHADAP CANDI BOROBUDUR

Oleh : Yudi Suhartono

I. Pendahuluan
Candi Borobudur adalah hasil karya masa silam yang terletak di Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah. Candi itu saat ini merupakan salah satu obyek daya tarik wisata (ODTW) di Indonesia yang banyak dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 Masehi, tidak diketahui berapa lama candi ini berfungsi sebagai bangunan suci agama Buddha, dan tidak pula diketahui sejak candi ini lenyap dari ingatan bangsa kita. Dalam abad ke 18 Candi Borobudur dikenal sebagai tempat yang dapat menimbulkan malapetaka. Menurut Babab Tanah Jawa, dalam tahun 1710 ada seorang pemberontak yang dikepung dan ditangkap di bukit budur. Dalam tahun 1758 seorang pangeran Yogya pergi ke Budur untuk menyaksikan seribu buah patung yang ada disana, dan terutama untuk mengunjungi seorang kesatria yang terkurung dalam sangkar. Kunjungan ini ternyata mencelakakan dirinya karena tak lama kemudian ia meninggal dunia (Soekmono, 1972)
Pada tahun 1814, Sir Thomas Stamford.Raffles sebagai gubernur jendral yang memerintah jajahan Inggris di Jawa (1811-1815), sewaktu berkunjung ke Semarang mendapat laporan bahwa di desa Borobudur ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah. Raffles segera mengirimkan seorang perwira bernama H.C. Cornelius untuk melihat sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon-pohon dan semak belukar. Tampak di atas bukit itu batu-batu candi berserakan. Dengan bantuan penduduk desa, H.C. Cornelius segera melakukan pembersihan dengan menebangi pohon-pohon, membakar semak belukar dan menyingkirkan tanah dari atas bukit itu. Pekerjaan membersihkan memakan waktu yang cukup lama, sehingga baru pada tahun 1934 atas usaha residen Kedu, bentuk candi dapat ditampakkan seluruhnya menjulang ke atas (Soekmano, 1972 ; Soetarno, 1986).
Dalam tahun 1882 ada usulan untuk membongkar seluruh bangunan dan memindahkan relief-reliefnya ke museum. Keadaan Candi Borobudur sudah terlalu rusak dan mengkhawatirkan, sehingga disayangkan kalau relief-relief yang begitu indah di Candi Borobudur akan hancur. Usulan ini tidak mendapat respon, tetapi menimbulkan pemikiran untuk mencari usaha menyelamatkan Candi Borobudur dari bahaya kehancuran. Pada tahun 1907 - 1911 T. Van Erp melakukan restorasi terhadap Candi Borobudur. T. Van Erp memulai pekerjaan dengan melakukan restorasi terhadap pagar-pagar langkan, dinding lorong pertama, saluran-saluran air di lereng bukit, tangga-tangga bagian bawah, gapura-gapura dan relung-relung beserta stupa-stupa kecilnya. Bagian arupadhatu dengan lingkaran stupa-stupanya diibongkar secara keseluruhan, kemudian dipasang kembali, demikian pula pagar langkan yang paling atas. Setelah 62 tahun pemugaran yang dilakukan T. Van Erp, kondisi candi mengalami kerusakan yang cukup parah. Kemudian pada tahun 1973 sampai tahun 1983, pemerintah Indonesia bekerja sama dengan UNESCO melakukan restorasi besar-besaran terhadap Candi Borobudur, dengan harapan Candi Borobudur dapat bertahan selama 1000 tahun (Soekmono, 1972).
Keberhasilan pemugaran Candi Borobudur telah mengangkat Indonesia sebagai salah satu bangsa yang dianggap cukup berhasil dalam pelestarian warisan budaya. Sejak diresmikannya purna pugar tahun 1983, Candi Borobudur semakin ramai dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan manca negara yang ingin secara langsung melihat keindahan Candi Borobudur
Banyaknya wisatawan yang mengunjungi candi Borobudur menyebabkan Borobudur menjadi pusat perhatian dari pemerintah dan kemudian menjadikan candi Borobudur sebagai Taman Wisata dengan mendirikan perusahaan perseroan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan sebagai pengelola lingkungan khususnya zone 2 kawasan Borobudur. Keputusan ini merupakan suatu terobosan dan gejala baru dalam pengelolaan warisan budaya karena selama ini kegiatan itu selalu berada langsung di bawah lembaga pemerintah, khususnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Konsep awal sebelum didirikannya PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan adalah Tapurnas (Taman Purbakala Nasional), namun selanjutnya yang disetujui adalah PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan. PT Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan berdiri pada bulan Juli 1980. Perusahaan ini adalah perusahaan negara penuh, kepemimpinannya di tangan Direktur Jenderal Pariwisata, anggota Dewan terdiri dari Direktur Jenderal Kebudayaan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan perwakilan Departemen Keuangan (Taufik, 2000 : 5)
Dengan adanya candi Borobudur sebagai wisata budaya yang bersifat nasional maupun internasional membawa perubahan yang cukup besar baik terhadap bangunan candi itu sendiri maupun terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan candi Borobudur. Dampak terhadap bangunan candi Borobudur diantaranya adalah mulai terganggunya kelestarian bangunan Candi Borobudur akibat dari banyaknya pengunjung yang naik ke candi borobudur dan ulah tangan-tangan jahil dari pengunjung itu sendiri.

II. Dampak Pemanfatan Candi Borobudur Sebagai Oyek Pariwisata
Istilah “pariwisata” konon untuk pertama kali digunakan oleh mendiang Presiden Soekarno dalam suatu percakapan sebagai padanan dari istilah asing “tourism”, yang berarti pariwisata. Sementara itu dimaksud dengan pariwisata ialah segala kegiatan dalam masyarakat yang berhubungan dengan wisatawan, sedangkan wisatawan adalah orang yang mengadakan perjalanan dari tempat kediamannya tanpa menetap di suatu tempat yang didatanginya atau hanya untuk sementara waktu tinggal di tempat yang didatanginya (Soekadjijo, 1997).
Sedangkan dampak menurut kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik positif maupun negatif) (Alwi, dkk, 2005). Dilihat dari sifatnya, dampak dari suatu aktivitas atau perubahan dapat dibedakan menjadi: menjadi dua yaitu dampak positif dan dampak negatif,. Dampak positif adalah akibat yang dinilai baik atau menguntungkan dari suatu kegiatan atau perubahan, sedangkan dampak negatif adalah sebaliknya, akibat negatif dari suatu kegiatan atau perubahan.
Seperti yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya, bahwa pengelolaan Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata dilakukan oleh sebuah Perseroaa Terbatas yang bernama PT. Taman Wisata Candi Borobuudr, Prambanan dan Ratu Boko. Kebijakan pengelolaan ini membawa membawa dampak yang sangat besar bagi kelangsungan candi ini di masa yang akan datang. Promosi yang dilakukan secara besar-besaran oleh managemen perusahaan tersebut baik di dalam negeri maupun di luar negeri telah mengundang jutaan wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur. Tidak dapat disangkal bahwa kehadiran wisatawan ke Borobudur telah membawa dampak positif yang sangat besar pada masyarakat disekitarnya seperti peningkatan ekonomi rakyat dan terbukanya lapangan kerja baru, walaupun juga terdapat dampak negatif seperti menipisnya nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Borobudur ( Ahimsa, 2001 dalam Taufik, 2005)).
Di satu pihak masyarakat dan pemegang saham merasakan dampak positif dari kebijakan pengelolaan tersebut, tetapi di lain pihak objeknya sendiri semakin terancam kelestariannya. Memang ada usaha-usaha yang dilakukan oleh pihak perusahaan untuk mengantisipasi dampak negatif yang diperkirakan akan muncul itu seperti membangun taman di sekitar candi untuk tujuan memecah konsentaris pengunjung tetapi usaha itu hampir tidak berfungsi karena wisatawan yang berkunjung ke Candi Borobudur langsung naik ke monumen (Taufik, 2005). Pada tulisan ini akan difokuskan pada dampak pemanfaatan pariwisata terhadap bangunan Candi Borobudur dan upaya penanggulangannya.

a. Dampak Positip Pemanfaatan Candi Borobudur
Dampak positip dari pemanfaatan Candi Borobudur adalah semakin diperhatiannya pelestarian dan perlindungan terhadap bangunan Candi Borobudur dan lingkungannya sebagai warisan budaya dunia. Upaya perlindungan terhadap Candi Borobudur dan lingkungan telah dilakukan dalam bentuk pemintakan atau zoning. Pemintakatan yang dilakukan di situs Borobudur merupakan salah satu upaya untuk melindungi Candi Borobudur baik yang disebabkan oleh faktor manusia dan binatang maupun faktor alam. Berdasarkan Masterplan Candi Borobudur yang dibuat pada tahun 1979, yang salah satu bagiannya berisi tentang pembagian zonasi Candi Borobudur dan situsnya (JICA, 1979) Dalam masterplan tersebut Cand Borobudur terbagi menjadi 5 zonasi yang meliputi :
1. Zona 1. Zona ini merupakan zona Inti (Sanctuary area), dengan luas areal sekitar 0.078 Km². Zona tersebut secara khusus diperuntukkan untuk perlindungan monumen dan lingkungannya. Di dalam zona ini tidak diperkenankan mendirikan bangunan dan fasilitas baru yang bertentangan dengan prinsip pelestarian. Fasilitas yang ada hanya berupa pos keamanan, penerangan listrik, pagar, sistem drainase yang semuanya untuk tujuan perlindungan dan pelestarian bangunan Candi Borobudur.
2. Zona II. Zona ini merupakan zona taman wisata arkeologi, untuk menyediakan fasilitas taman dan perlindungan lingkungan sejarah dengan luas areal 0.87 Km². Pada zona ini dapat diberi fasilitas baru namun harus dibatasi jumlahnya, diawasi bentuk arsitekturnya dan keserasian lingkungannya. Semuanya tidak bertentangan dengan upaya pelestarian dan menimbulkan pencemaran aspek arkeologi. Fasilitas yang ada misalnya museum, tempat parkir, toilet, tempat ibadah, warung cinderamata, loket karcis.
3. Zona III. Zona ini merupakan zona pengembangan (Development zone) dengan luas sekitar 10 Km². Zona tersebut merupakan kawasan pemukiman terbatas, daerah pertanian, jalur hijau, dan fasilitas khusus yang dibuat dalam rangka menunjang kelestarian candi.
4. Zona IV. Zona ini merupakan zona perlindungan kawasan bersejarah (Historical scenery preservation zone) dengan luas areal sekitar 26 Km².
5. Zona V. Zona ini merupakan zona perlindungan kawasan bersejarah dengan luas areal sekitar 78,5 Km², yang diperlukan dalam rangka penanggulangan kerusakan terhadap peninggalan-peninggalan purbakala yang masih terpendam dalam tanah.

Berakhirnya kegiatan pemugaran tahun 1983 dan dijadikannya Candi Borobudur sebagai objek wisata tidak berarti usaha pelestariannya juga berakhir. Untuk menjaga kelestarian candi ini, pemerintah Republik Indonesia melalui surat keputusannya nomor 0605/0/ 1991 tanggal 30 November 1991 membentuk suatu Unit Pelaksana Teknis (UPT) yaitu Kantor Balai Studi dan Konservasi Borobudu (sekarang Balai Konservasi Peninggalan Borobudur), yang bertugas melakukan pemeliharaan terhadap candi terseebut. Balai Konservasi Peninggalan Borobudur mempunyai tugas dan fungsi yang meliputi :
· Pelaksanaan kajian bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi di lingkungan Candi Borobudur serta peninggalan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan dan pemanfaatan hasil kajian bidang konservasi, teknik sipil, arsitektur, geologi, biologi, kimia, dan arkeologi di lingkungan Candi Borobudur serta peninggalan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan pelayanan dan pengembangan, serta pelatihan tenaga teknis dibidang konservasi peninggalan purbakala;
· Pelaksanaan studi konservasi situs Borobudur serta peninggalan sejarah dan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan perawatan, pengamanan, serta pemeliharaan koleksi Candi Borobudur;
· Pelaksanaan dokumentasi dan publikasi situs Borobudur dan peninggalan purbakala lainnya;
· Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.
Selama ini, biaya perawatan Candi Borobudur berasal dari APBN melalui dana rutin Balai Konservasi Peninggalan Borobudur dan anggaran Proyek Peninggalan Sejarah dan Purbakala Candi Borobudur, tetapi mulai tahun 2004 ini, pihak direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko menyediakan dana untuk kegiatan pelestarian Candi Borobudur. Dana tersebut diperoleh berdasarkan surat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kepada Menteri BUMN dengan nomor UM.0013/4/19/MKP/03 tanggal 10 November 2003 dan Nota Dinas Deputi Peninggalan Sejarah dan Purbakala kepada no. 97/ND/D.II/SP/V/2004 tanggal 28 Mei 2004 kepada Direksi PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (Taufik, 2005).

b. Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur
Kegiatan pemanfataan Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata, selain membawa dapak positif, juga membawa dampak negatif terhadap Candi Borobudur dan mengganggu upaya pelestarian terhadap candi tersebut.
Dampak negatif pemanfaatan candi Borobudur antara lain meliputi :

· Vandalisme
Vandalisme dapat diartikan sebagai vandalisme diartikan sebagai perbuatan merusak dan menghancurkan hasil seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam dan sebagainya), perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas (Alwi, dkk, 2005).
Kegiatan vandalisme yang terjadi di Candi Borobudur terdiri dari empat jenis yaitu; sampah, pencungkilan relief, corat-coret, menaiki bagian atas candi dan peledakan. Vandalisme berupa pencungkilan relief terdapat tiga kasus yaitu tanggal 12 Juli 1994 seorang dengan membawa parang naik ke catra stupa induk kemudian menebaskan parangnya ke batu-batu candi akibatnya beberapa batu penyusun catra gempil, tanggal 20 November 1997 seorang turis Jepang mencungkil relief Gandavyuha lorong III sisi Timur bidang A, tanggal 12 Maret 2002 seorang wisatawan lokal berusaha mencungkil relief Jataka sisi Selatan lorong I pagar langkan dan kebetulan tertangkap oleh petugas keamanan. Vandalisme berupa corat – coret pada batu-batu candi ditemukan di beberapa tempat, dalam setahun ditemukan kurang lebih 20 tempat (Taufik, 2005). Jenis alat tulis yang digunakan adalah spidol, stip ex, pilox, benda tajam, dan ball point. Kegiatan vandalisme di Candi Borobudur akan meningkat seiring dengan masuknya liburan sekolah yaitu bulan Mei sampai dengan bulan Juli.
Selain hal-hal di atas, kegiatan vandalisme yang sering dilakukan oleh pengunjung adalah dengan menaiki dan berdiri di bagian atas bangunan candi, dengan berbagi alasan seperti untuk memotret, melihat pemandangan dan berbagai alasan lainnya. Menaikii bagian atas candi membawa resiko yang cukup besar, selain membahayakan jiwa pengunjung jika terjath, juga bisa merusak komponen batu candi yang bisa lepas dan pecah akibat dinaiki pengunjung. Jenis vandalisme terbesar yang pernah terjadi di Candi Borobudur adalah peledakan 9 buah stupa teras yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab pada tanggal 21 Januari 1985

· Sampah
Sampah adalah segala benda atau bahan yang terbuang karena kegiatan manusia. Sampah dapat berbentuk padat, cairan, dan gas. Sampah yang ditemukan berserakan pada lantai Candi Borobudur berupa kertas pembungkus, sisa makanan, plastik, , puntung rokok, kotoran manusia, daun, biji-bijian, buah-buahan, pecahan botol, kaleng minuman, dan abu.
Adanya sampah di Candi Borobudur dapat mempercepat proses pelapukan batu-batu candi. Sampah yang ukurannya kecil dapat masuk ke sela-sela batu yang pada akhirnya menyebabkan penyumbatan pada saluran air. Saluran air yang dimaksud di sini adalah berupa parit-parit kecil di bawah lantai pada setiap lorong yang dihubungkan dengan saluran pembuangan berupa paralon yang akan mengalirkan nya ke kaki bukit Candi Borobudur. Akibat penyumbatan pada saluran-saluran air tersebut, maka akan terjadi rembesan. Rembesan inilah yang akan menjadi perantara terjadinya pelapukan batu. Beberapa faktor pelapuk yang akan timbul akibat rembesan air tersebut seperti; terjadinya endapan garam, dan terjadinya pertumbuhan mikro organisme. Mikro organisme yang akan tumbuh akibat rembesan air itu antara lain lumut (mos), jamur kerak (licen), dan ganggang (algae). Selain dapat menyumbat saluran-saluran air, sampah berupa biji-bijian seperti biji jeruk, rambutan dan salak dapat tumbuh di selah-selah batu Candi Borobudur. Tumbuhnya biji buah-buahan tersebut dapat mempercepat proses pelapukan batu candi karena akar-akarnya dapat masuk pada pori-pori batu yang pada akhirnya membuat batu-batu candi menjadi pecah (Taufik, 2005). Produksi sampah di Candi Borobudur berbanding lurus dengan jumlah wisatawan yang mengunjunginya. Semakin banyak wisatawan yang mengunjungi Candi Borobudur semakin banyak sampah yang ditimbulkannya. Produksi sampah akan lebih banyak jika musim liburan sekolah dan hari raya.

· Keausan
Di Candi Borobudur ditemukan beberapa batu penyusun mengalami keausan yang tersebar pada lantai dan tangga candi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh di Candi Borobudur ditemukan 801 blok batu yang mengalami keausan (Sutantio, 1985 dalam Taufik, 2005). Hasil pengamatan di tahun 2000 jumlah batu yang mengalami keausan menjadi 1.383 blok batu ( Sadirin, 2002 dalam Taufik, 2005)), berarti terjadi peningkatan sebesar 582 blok batu. Jika dirata-rata, setiap tahun terjadi keausan sebesar 36 blok batu. Jika keausan batu-batu Candi Borobudur mulai terjadi ketika pertamakali dimanfaatkan sebagai objek wisata, maka proses keausan itu sudah berlangsung selama 20 tahun. Selama 20 tahun itu, Candi Borobudur telah dikunjungi oleh wisatawan sebanyak 35.766.820 orang. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan bahwa keausan pada lantai lorong dan teras arupadatu berkisar antara 0,2 – 1,5 cm, tangga sisi timur antara 0,2 - 1,8 cm, dan tangga di ketiga sisi lainnya antara 0,2 - 1,3 cm (Taufik, 2005)
Terjadinya keausan pada batu Candi Borobudur karena adanya pergesekan antara alas kaki pengunjung dengan lantai ataupun anak tangga. Kekuatan gesekan antara alas kaki dengan batu candi sangat dipengaruhi oleh massa (m) dan sudut gesekan yang terbentuk ketika sedang berjalan di lantai atau sedang menaiki dan menuruni tangga (Taufik, 2005). Perlu diketahui bahwa gesekan antara alas kaki dengan batu candi saja tidak akan mengakibatkan keausan pada batu, karena tingkat kekerasan batu candi jauh lebih besar dari pada semua jenis alas kaki yang digunakan pengunjung Candi Borobudur. Batu penyusun Candi Borobudur adalah batu andesit yang mempunyai tingkat kekerasan 5 - 7 skala Mohs, sementara alas kaki pengunjung hanya berkisar antara 1 – 3 skala Mohs (Hoef, 1992. Hal; 5 dalam Taufik , 2005).
Terjadinya keausan pada batu candi disebabkan oleh gesekan antara pasir yang menempel pada alas kaki pengunjung dengan batu candi. Hal ini sangat memungkinkan karena pasir yang menempel pada alas kaki tersebut mempunyai unsur Silica (Si) yang tingkat kekerasannya adalah 7 skala Mohs. Pasir yang melekat pada alas kaki pengunjung tersebut berasal dari halaman candi, apalagi saat ini di halaman Candi Borobudur dibuat jalan setapak yang bahan penyusunnya terdiri atas pasir dicampur dengan tanah liat (Taufik, 2005).

c. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif Pemanfaatan Candi Borobudur
Upaya penanggulangan dampak negatif pemanfaatan Candi Borobudur sebagai objek wisata dirasakan sebagai upaya yang sangat mendesak dan perlu penanganan serius. Dengan dimanfaatkannya candi Borobudur sebagai objek wisata secara komersial, terutama setelah didirikannya PT. Taman Wisata Candi Borobudur- Prambanan sebagai pengelola candi, upaya perlindungan dirasakan semakin diperlukan karena promosi yang dilakukan oleh lembaga tersebut akan mengundang wisatawan semakin banyak ke Borobudur. Padahal semakin meningkatnya wisatawan, semakin meningkat pula dampak yang ditimbulkannya terutama kerusakan batu-batu penyusun Candi Borobudur.
Di lain pihak, Candi Borobudur telah masuk dalam daftar World Heritage List (WHL) sebagai Warisan Budaya Dunia (World Cultural Heritage) dengan nomor 348 tertanggal 13 Desember 1991 dan kemudian diperbarui menjadi Nomor 592 Tahun 1991. Selain itu, dalam ICOMOS (Charter for the Protection and Management of the Archaeological Heritage) tahun 1990 pasal 2 dijelaskan bahwa pusaka arkeologi seperti Borobudur dan situs di sekitarnya merupakan sumberdaya budaya tidak terbarukan. Hal ini menyebabkan Candi Borobudur menjadi perhatian dunia dan keberadaannya dipantau terus-menerus oleh UNESCO, sehingga perlu dijaga kelestariannya.
Selain telah diakui sebagai warisan budaya dunia, Candi Borobudur juga dilindungan oleh Undang-undang Republik Indoensia Nomer 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomer 5 tahun 2002 tentang Benda Cagar Budaya. Dengan demikian pemerintah dan masyarakat memiliki kewajiban untuk melindungi dan melaestarikan Candi Borobudur supaya dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Untuk menjaga kelestarian Candi Borobudur, perlu dilakukan upaya-upaya menanggulangi dampak negetif pemanfaatan Candi Borobudur sebagai berikut :
1. Melakukan sosialisasi Undang-undang Nomer 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya beserta peraturan lain yang mendukung ke sekolah-sekolah, intansi pemeritah maupun swasta serta masyarakat umum. Dengan kegiatan ini diharapkan tumbuh rasa memiliki dan mencintai benda cagar budaya peninggalan masa lalu, yang akhirnya dapat ikut menjaga kelestariannya.
2. Melakukan publikasi secara luas kepada masyarakat mengenai pentingnya Candi Borobudur sebagai warisan budaya bangsayang harus dijaga kelestarian, melalui radio, televisi dan media massa lainnya. Selain itu juga diperlukan peran aktif pengelola Candi Borobudur dan masyarakat yang berkepentingan dengan Candi Borobudur. Dengan publikasi ini, diharapkan masyarakat yang akan berkunjung ke Candi Borobudur menyadari pentingnya Candi Borobudur sebagai warisan budaya bangsa, yang akhirnya dapat menjaga kelestarian Candi Borobudur dengan tidak ikut merusak ketika mengunjungi candi tesebut.
3. Memasang papan-papan pengumuman mengenai bagimana mengunjungi Candi Borobudur, seperti di pintu masuk yang isinya melarang wisatawan membawa makanan, alat tulis, dan benda tajam ke atas monumen kecuali minuman yang kemasannya dapat didaur ulang seperi air mineral, selain minuman kemasan tersebut semua barang harus ditinggal di kendaraan masing-masing. Larangan membawa barang selain minuman ke atas candi bertujuan untuk menghindari terjadinya kegiatan vandalisme dan pengotoran (sampah). Selain itu, di halaman dan bangunan candi juga dipasang pengumuman yang isinya antara lain di larang melakukan corat coret pada komponen bangunan candi, di larang menaiki bagian candi, buanglah sampah pada tempat yang telah disediakan dan beberapa pengumuman lainnya.
Pemasangan papan-papan pengumuman itu tidak ada artinya jika tidak ada kerjasama antara pengelola Candi Borobudur dengan masyarakat yang berkepentingan dengan Candi Borobudur seperti fotografer dan pemandu wisata untuk ikut bersama-sama memberikan pengertian kepada pengunjung agar dapat mentaati peraturan yang ada dan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan dan merusak bangunan Candi Borobudur. Peran aktif dari masyarakat sangat membantu dalam upaya pelestarian dan perlindungan Candi Borobudur.
4. Mengatur dan mendistribsikan pengunjung agar tidak secara bersamaan naik ke Candi Borobudur. Di taman wisata Candi Borobudur terdapat berbagai fasiitas pendukung wisatawan audio viusal, museum, pertunjukan tarian tradisional dan berbegai fasilitas lainnya.
Pengaturan dan pendistribusian pengunjung dimaksudkan untuk membatasi pengunjung (wisatawan) agar tidak bersamaan naik ke monumen dalam waktu yang sama. Pembatasan pengunjung tersebut dimaksudkan untuk membatasi beban dinamis yang harus ditanggung Candi Borobudur. Makin banyak pengunjung yang naik ke Candi Borobudur dalam waktu yang bersamaan, makin berat beban yang ditanggung candinya. Makin berat beban makin besar kemungkinan terjadinya keretakan batu-batu penyusun candinya. Selain karena mengurangi beban, daya tampung Candi Borobudur juga sangat terbatas. Menurut perhitungan hubungan (korelasi) luas lantai candi dengan kapasitas ideal pengunjung Candi Borobudur, bahwa luas lantai candi secara keseluruhan 8.559 m2 kapasitas maksimal pengunjung yang dianjurkan adalah sebesar 4.989 orang dalam waktu yang bersamaan. Penjelasannya yaitu untuk menikmati atau mengamati relief pada tubuh candi diperlukan luasan sebesar 1,25 m x 1,25 m atau sama dengan 1,50 m2. (Taman Wisata Candi Borobudur, prambanan dan Ratu Boko, Tanpa Tahun; Hal: 10 – 11 dalam Taufik, 2005). Di sini juga diperlukan peran aktif masyarakat yang berkepentingan dengan Candi Borbudur untuk dapat memberi inforasi kepada pengunjung mengenai hal-hal yang telah disebutkan di atas..
5. Diperlukan kerjasama semua pihak seperti pengelola candi Borobudur, intansi pemerintah maupun swasta serta masyarakat untuk bersama-sama menjaga pelestarian dan perlindungan Candi Borobuudur sebagai warisan budaya milik bersama yang dapat di wariskan kepada generasi yang akan datang.

III. Penutup
Pemanfataan Candi Borobudur sebagai obyek pariwisata tingkat dunia membawa dampak bagi kelestarian Candi Borobudur baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positip terlihat dengan adanya perhatian terhadap upaya pelestarian Candi Borobudur sebagai warisan budaya dunia. Sedangkan dampak negatif disebabkan oleh ulah pengunjung yang berakibat dapat mengganggu kelestarian Candi Borobudur. Untuk dapat meminimalkan dampak negatif diperlukan peran serta semua unsur masyarakat dan kerjasama dengan pengelola Candi Borobudur sehingga kelestarian Candi Borobudur dapat terjaga dengan baik dan dapat diwariskan kepada generasi berikutnya.

IV. DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
JICA. 1979 Masterplan Borobudur Archaeology Park. Jakarta : Pemerintah Republik Indonesia.
Soetarno. 1986. Aneka Candi Kuna di Indonesia. Semarang : Effhar & Dahara Prizw.
Soekadijo, R.G. 1996. Anatomi Pariwisata Memahami Pariwisata Sebagai “Systemic Linkage”. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soekmono, R., 1972 “Riwayat Usaha Penyelamatan Candi Borobudur”, Pelita Borobudur, Seri A.1. Proyek Pelita Restorasi Candi Borobudur. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Taufik, Muhammad 2000 Studi Dampak Pemanfaatan Candi Borobudur. Borobudur : Balai Studi dan Konservasi Borobudur
----------------------- 2005 Minimalisasi Dampak Negatif Pemanfaaatan Candi Borobudur Sebagai Objek wisata. Tesis Program Studi Arkeologi, Yogyakarta : Program Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar